Senin, 13 November 2023

AL-NIFFARĪ DAN RANTAI KEILMUAN IRFANI

 


AL-NIFFARĪ DAN RANTAI KEILMUAN IRFANI

 Sepanjang penelusuran literatur khumul merupakan sifat yang melekat pada orang yang dianugerahi ilmu Irfani. Selain sifat yang berasal dari internal dirinya kekhumulan seseorang juga didukung oleh kondisi tertentu secara eksternal. Mungkin seseorang punya karakter pemalu, penyendiri, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka tampil beda, tidak suka popularitas, tidak ingin dikenal banyak orang dan sebagainya.

 Tetapi di sisi lain ada pengondisian dari luar dirinya. Seperti ada kejadian yang senantiasa menghalanginya untuk tampil ke depan. Ada saja peristiwa atau hal-hal yang mencegahnya supaya tidak terekspos ke khalayak ramai. Bahkan lebih jauh dia mungkin tidak dikenali oleh orang-orang sezamannya dengan cara tertentu sebagaimana kisah Muhammad ibn Abd al-Jabbār ibn al-Hasan al-Niffarī.

 Al-Niffarī, seseorang yang hidup pada abad ke empat hijriyah dan wafat pada tahun 354 Hijriyah pada masanya tidak dikenal. Secara lahiriah dia hanyalah seorang pengembara yang tidak punya tempat tinggal yang menetap. Hidupnya terlunta-lunta (muwallah) dan terkucil dari pergaulan masyarakat. Di kalangan komunitas sufi, di mana kelak dia dikenal sebagai salah satu tokohnya juga tersisihkan. Sesaat memang ada sebagian kecil orang yang mengenalnya tetapi kemudian namanya semakin meredup dan menghilang.

 Para tokoh sufi sekaligus penulis pada zamannya pun tidak mencatat namanya dalam karya-karya mereka. Seperti al-Ṭūsi dalam kitab Luma’-nya, al-Kalābadhī dalam kitab Ta’arruf-nya, al-Sulamī dalam kitab Tabaqāt-nya, al-Qushayrī dalam kitab Risālah-nya, maupun Abu Naim dalam kitab Hilyah-nya. Padahal mereka hidup sezaman dengan al-Niffarī. Hanya kitab al-Mawāqif dan al-Mukhātabāt karya yang bisa dikenali dari dirinya. Itu pun orang tidak menyebut namanya secara langsung sebagai penulis kitabnya. Mereka hanya menyebut identitasnya dengan penulis al-Mawāqif.

 Kitab ini sendiri sebetulnya tidak ditulis secara khusus semasa hidupnya. Awal mulanya dia hanya bertujuan mencatat pengalaman-pengalaman spiritualnya dalam banyak lembaran kertas. Tetapi kemudian ada yang mengumpulkan dalam wujud satu kitab setelah kematiannya. Kalau dilihat dari karyanya ini sebenarnya dia sudah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang spiritual, meskipun tidak ada keinginan baginya untuk menulis karya secara khusus atau menyusun konsep-konsep kesufian dan menyebarkannya sebagaimana tokoh sufi yang lain.

 Orang yang pertama kali menemukan dan menyebut nama al-Niffarī dan karyanya al-Mawāqif adalah Syaikh Akbar yang lahir 206 tahun setelah kewafatan al-Niffari dalam kitab al-Futūhāt. Selanjutnya nama dan karyanya sering disebut-sebut oleh Abū al-Ḥasan al-Shādhilī dalam forum majelis ilmunya. Menyusul Abū al-Hasan al-Shishtarī memasukkan namanya dalam qasidahnya yang terkenal dan menyebutnya dalam golongan para penghulu kaum Irfani. Tidak ketinggalan ada seorang pensyarah karya tasawuf yang kemudian menulis syarah dari al-Mawāqif yaitu Afīf al-Dīn al-Tilimsānī (lahir 610 H dan wafat 690 H) dan menulis sekelumit sejarah hidupnya.

 Terkait dengan mayoritas kehidupan kaum Irfani al-Harawī dalam kitabnya Manāzil al-Sā`irīn menggambarkan bahwa mereka merupakan kaum yang tinggi himmahnya dan jernih tujuan hidupnya. Perilakunya mulia dan patut menjadi teladan meskipun tidak ada yang mencatat kisah hidupnya sehingga terlupakan. Meskipun semasa hidupnya mereka bukan siapa-siapa dan tidak menarik perhatian publik menurut al-Harawī mereka merupakan harta simpanan Allah yang sangat berharga di dunia.

 Mencermati kisah di atas bisa ditemukan pola yang unik dari tradisi ilmu Irfani ini. Kalau dalam tradisi ilmu-ilmu lain penyebarluasannya melalui penulisan konsep yang matang, sengaja dicetak dan dipublikasikan, disebarkan, dikaji dan ditransmisikan dari generasi ke generasi secara sistematis. Sebaliknya pada tradisi ilmu Irfani gagasan dan pemikiran bisa jadi akan hilang dan terpendam seiring kewafatan tokohnya. Akan tetapi kemudian Allah akan memunculkan sosok-sosok lintas generasi yang tersentuh dengan gagasan dan pemikirannya. Merasa bertanggung jawab untuk mengkaji, meneliti dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, meskipun berjarak ratusan tahun dan ribuan kilometer sebagaimana yang terjadi pada al-Niffari.

 Wallahu a’lam..

Selasa, 24 September 2019

“You know what, Les? Sometimes we don’t pick the books we read. They pick us..”

Awalnya dari kegelisahan memikirkan karakter introvert, di mana karakter seperti itu menurutku sangat tidak menguntungkan pada masa sekarang ini. Bahkan aku mengira bahwa karakter tersebut merupakan sebentuk kelainan psikologis. 

Karakter introvert lebih identik dengan kegagalan atau ketidakmampuan seseorang untuk bersosialisasi dan berkomunikasi. Padahal dua hal ini merupakan prasyarat utama untuk meraih kesuksesan dalam meniti karir seseorang. Berbeda dengan sifat extrovert yang lebih identik dengan kemampuan seseorang untuk bersosialisasi dan berkomunikasi, karakter yang dekat dengan kesuksesan. 

Untuk hal ini aku sudah membaca banyak literature dan browsing di internet tetapi belum juga menemukan jawaban yang memuaskan. Sampai suatu malam –tepatnya hari minggu tanggal 15 Mei 2011- aku bermimpi membeli sebuah kitab di toko buku dan kitab Barokah di daerah pasar Wajak Malang. 

Paginya langsung meluncur ke sana dan menanyakan kitab termaksud. Tetapi ternyata penjualnya mengatakan tidak ada, aku tetap bersikeras untuk dicarikan. Setelah memaksa beberapa lama akhirnya penjualnya menyerah, kemudian pergi ke belakang untuk mencarinya di gudang. Tak butuh waktu lama penjual pun keluar sambil membawa dua jilid kitab yang sudah bulukan, kusam dan ada blentong-blentongnya. 

Ketika kutanya harga penjual menyuruhku menunggu sebentar untuk telpon ke distributor. Agak masygul juga sebenarnya, kitab lama kok disamakan harganya dengan kitab baru. Tapi nggak papalah karena kitab bulukan tersebut nilainya jelas nggak sama dengan kitab baru yang kondisinya lebih bagus. 

Sesampainya di rumah kitab tersebut langsung kubaca. Aku bolak-balikkan halaman kitab tersebut sampai kemudian mataku tertumbuk pada halaman 80 jilid pertama. Bagian yang menjelaskan tentang sifat al-Abdal. 

Dalam tradisi Islam atau khususnya tasawuf dikenal adanya sosok yang misterius, yang dikenal dengan sebutan al-Abdāl (Para Pengganti). Disebut demikian karena setiap di antara mereka meninggalkan posisinya maka akan diganti dengan yang lain. Posisi tersebut adalah keberadaan untuk selalu memberikan kemaslahatan kepada umat dan ajakan untuk mendekat kepada Tuhan. 

Di seluruh alam para penggenggam rahasia ini selalu berjumlah tujuh, tidak kurang dan tidak lebih. Ketika salah seorang meninggalkan posisinya maka akan segera diganti oleh yang lain. Tidak diragukan lagi bagi seseorang yang mengetahui sosok misterius ini bahwa dialah calon penggantinya. Jadi tidak akan ada seseorang yang mengetahui keberadaannya di dunia ini kecuali calon pengganti tersebut. 
Mereka selalu diselimuti sifat-sifat dan karakter yang akan selalu menjaga kerahasiaan keberadaannya, di antaranya adalah berlapar-lapar (al-jū’), terjaga di malam hari (al-sahar), pendiam (al-sumt) dan suka menyendiri (al-‘uzlah). Sifat-sifat yang menunjukkan kesederhanaan dan kesunyian hidup. Jauh dari popularitas, keinginan untuk bermewah-mewah dalam hal makanan, pakaian, tempat tinggal dan kendaraan. Jauh dari keinginan untuk dihormati dan dipuja-puji. Enggan untuk mencari pengakuan dan penghormatan dari keawaman manusia. 

Mereka tidak menampakkan diri karena bertujuan menjaga dan tidak mau pengetahuan mereka yang merupakan amanat diolok-olok oleh manusia. Meskipun terhijab dari pandangan dunia sesungguhnya mereka akrab dengan para penghuni alam malakut. Karena penghuni alam malakut lebih memahami alusi-alusi yang paling tersembunyi dan paling halus sekalipun. 

Ketika berbicara dengan penghuni dunia, di tengah keterbatasan bahasa dunia yang terikat tempat dan waktu, mereka menggunakan simbol-simbol demi keamanan dan keselamatan dirinya. 

Bagi para al-Abdal, lebih suka diam dan menyendiri daripada banyak berbicara dan melarutkan diri dalam riuhnya keramaian adalah tindakan untuk berjalan ke pusat diri, mencari hakekat demi mencari kesembuhan. Menghindari pembicaraan, yang hanya akan menghambur-hamburkan pikiran ke luar, sehingga jati dirinya terabaikan. Itulah akhirnya yang mendorongnya untuk beraktifitas pada pekerjan-pekerjaan yang sunyi dan mempelajari ilmu-ilmu yang bersifat sunyi dan permenungan. 

Sifat-sifat ini sangat bertolak belakang dengan para penghuni dunia yang sudah renta ini. Dengan sifat-sifat tersebut sosok seperti ini, di tengah-tengah kerumunan manusia yang memilih kebenaran sebagai bagian tak terpisahkan dari popularitas dan banyaknya jumlah pengikut, tentu saja sangat sulit ditemukan dan seandainya ditemukanpun akan segera dilupakan oleh sejarah. 

Meskipun begitu, ketiadaannya inilah yang akan menjadi inspirasi bagi umat dan selalu meninggalkan jejak unik yang menginspirasi generasi sesudahnya.

Selasa, 10 September 2019

TAFSIR IBNU ‘ARABI



Menurut catatan Syaikh Mahmūd Mahmūd al-Ghurāb, Syaikh Akbar di beberapa bagian kitab al-Futūhāt al-Makkiyah sering menyebut dua kitab tafsir karyanya yang berjudul Kitāb al-Jam’i wa al-Tafṣīl fī Ma’rifah Ma’ānī al-Tanzīl dan Ījāz al-Bayān fī al-Tarjamah ‘an al-Qur`ān. Tafsir yang pertama tidak sampai pada kita, sedangkan yang kedua masih bisa ditemukan dalam bentuk kutipan-kutipan di beberapa bagian karya-karyanya yang lain.

Adapun kitab tafsir al-Qur`an yang dinisbatkan kepada Syaikh Akbar yang sering kita temui sekarang dan terdiri dari dua jilid bukanlah karyanya. Kitab tafsir ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan Syaikh Akbar, tetapi karya dari ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī yang wafat tahun 730 H sekitar seratus tahun setelah wafatnya Syaikh Akbar.

Manuskrip asli tafsir ini bisa ditemukan di perpustakaan al-Maktabah al-Sulaymāniyyah Turki terindeks nomor 17-18 dan menyebutkan ‘Abd al-Razzāq al-Kāshānī sebagai penulisnya. Pembaca atau peneliti akan segera bisa membedakan uslūb (corak bahasa) yang digunakan keduanya. Antara kehalusan makna dan kelembutan metafora yang digunakan Syaikh Akbar dengan uslūb yang digunakan al-Kāshānī yang cenderung membingungkan.

Demi untuk memahami dan menikmati gagasan-gagasan serta buah pikiran Syaikh Akbar mengenai al-Qur`an Syaikh al-Ghurab pun menyusun kitab tafsir berjumlah empat jilid yang diberi judul Rahmatun min al-Rahmān fī Tafsīr wa Ishārāt al-Qur`ān. Disusun selama lebih dari 25 tahun kitab tafsir ini sebagaimana kitab tafsir lainnya juga menafsirkan ayat-ayat al-Quran secara tekstual dari sisi hukum dan bahasa. Disamping menafsirkan secara metafora sufistik pada sisi pembahasan tauhid dan sulūknya.

Sumber penulisan tafsir ini berasal dari karya-karya Syaikh Akbar yang tidak diragukan lagi orisinalitasnya seperti kitab Radd al-Āyāt al-Mutashābihāt ilā al-Āyāt al-Muhkamāt, Talqīh al-Aḍhān, Fuṣūs al-Hikam dan kitab-kitab lainnya sampai sejumlah 30 judul. Ditambah dengan hāmish (catatan bawah) dari tafsir Ījāz al-Bayān (yang berhasil ditemukan) sebagai alat verifikasi kesesuaian makna maupun keunikan corak bahasa dan metode keilmuannya dari kitab-kitab tafsir yang lain.

Rabu, 25 Oktober 2017

FUSUS AL-HIKAM: SEBUAH KONTRADIKSI?

~ Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharram 627, di kota Damaskus. Beliau memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku, “Ini adalah kitab Fusūs al-Hikam, ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka dapat mengambil manfaat darinya.” Aku menjawab, “Segala ketundukan selayaknya dipersembahkan ke hadirat Allah dan Rasul-Nya; ketundukan ini seharusnya dilaksanakan sebagaimana kita diperintahkan.” Oleh karena itu, aku melaksanakan keinginan tersebut, memurnikan niatku, dan mencurahkan maksudku untuk menerbitkan kitab ini, seperti diperintahkan sang Rasul, tidak ada tambahan atau pengurangan di dalamnya. ~

Selanjutnya fakta berbicara, keseluruhan teks Fusūs al-Hikam adalah karya yang sulit dipahami dan membingungkan. Membutuhkan kesabaran luar biasa, kedalaman imajinasi dan kesiapan pembaca untuk mengikuti guru sufi itu sepanjang lorong pemikiran dan penyingkapannya yang berliku-liku. Secara khusus, kitab ini juga sebuah karya yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain dalam suatu cara, sehingga menciptakan beberapa reduksi pemahaman bagi para pembaca non-Arab dan non-Muslim.

Kemudian yang menjadi permasalahan adalah, pada point pertama kitab ini ditujukan bagi khalayak manusia agar mereka mengambil manfaat seluas-luasnya. Sedangkan point kedua mengatakan, kitab ini sulit dipahami dan membingungkan. Artinya tidak semua manusia bisa memahaminya. Jadi, apakah pernyataan di atas itu sesuatu yang kontradiktif? Ternyata tidak, sebenarnya Ibnu ‘Arabi setiap menulis karyanya menggunakan metode khusus untuk mendekati pembacanya. Hal ini dijelaskannya sendiri dalam bagian-bagian yang tersebar di banyak karyanya.

Ibnu ‘Arabi menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan dan mengambil jarak dari wilayah rasional dengan memasukkan unsur-unsur mistik atau satu bentuk pengetahuan yang didasarkan pada ‘praduga’ dan intuisi bukan berdasarkan bukti dan data faktual. Padahal menurut pandangan kita, pembacaan teks adalah sebentuk pembacaan lain yang produktif dengan menyelami kedalaman maknanya dengan melihat apa yang ditampakkan bukti dan data teks tersebut.

Dimana hal tersebut dilakukan dengan memperbanyak analisa dan pengungkapannya demi memahami khazanah teori, paradigma pemikiran, metodologi dalam penelitian, pembahasan atau hasil-hasil interpretasi dan kandungan ilmiah di dalamnya. Dengan itu semua, diharapkan seseorang bisa memandang sebuah teks berdasarkan kekayaan dan keragaman data dan bukti serta bisa membedakan irrasionalitas dari rasionalitasnya.

Akan tetapi Ibnu ‘Arabi disaat berbicara tentang kegaiban dan irrasionalitas menggunakan metode pemikiran yang mengandung aspek dialektis dan menyembunyikan beberapa terminologi yang memiliki nilai praktis. Ada serangkaian definisi konotatif yang dikumpulkan oleh Ibnu ‘Arabi dalam teks yang ditulisnya. Dengan metode ini, ia menuntaskan persoalan seputar keberadaan dan hakikat segala sesuatu dengan teliti dan keterbukaan penuh.

Ketika kita masih membicarakan tentang teks dan metode pembacaannya, Ibnu ‘Arabi telah menyelami teks dan berusaha membacanya dengan menganggapnya sebagai wacana plural yang dapat dinilai secara berbeda dengan perbedaan pembacaannya. Paham mistik Ibnu ‘Arabi mencerminkan karakteristik rasional yang sangat luas dan lebih kuat dari apa yang kita sangka dan kita bayangkan.

Teks Ibnu ‘Arabi membuka diri untuk pembacaan yang berbeda dalam teks yang dibaca disamping menggunakan subyektivitas dirinya secara bersamaan, sehingga lahirlah sebuah teks yang baru dan aktivitas ilmiah yang bersifat kreatif secara berkesinambungan. Bukan pengulangan, penyederhanaan atau kesia-siaan. Oleh karena itu, tidak ada satu kata pun di dalamnya yang lepas dari metafora (majāz). Karena di dalam metafora terdapat fantasi dan simbolisasi serta imajinasi dan alegori yang bermanfaat untuk memperkaya makna teks.

Singkatnya, kitab Fusūs al-Hikam adalah sebuah kitab yang kaya makna. Teksnya memungkinkan bagi setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penelusuran hermeneutis dan mengambil manfaat dari pemaknaannya seluas-luasnya. Atau pesan sponsornya, bagi yang ingin menikmati teksnya, disarankan untuk menguasai ilmu 'membaca' secara mendalam. Inilah penjelasan yang dimaksud dalam mimpi Ibnu ‘Arabi di atas.
Wallahu a’lam..


Kamis, 06 April 2017

KITAB SIRAJ AL-THALIBIN



Saya intensif mengkaji kitab ini sekitar tahun 1992-1993 dari sosok kyai yang sabar dan pendiam, yaitu KH Alimuddin (alm.) dari desa Ganjar kecamatan Godanglegi kabupaten Malang. Beliau adalah santri langsung dari pengarang kitab tersebut sekaligus menantunya. Kitab ini diitulis oleh KH Ihsan Dahlan atau dikenal dengan KH Ihsan Jampes pada usia 31 tahun. Seorang kyai pengasuh pesantren Jampes di desa Putih kecamatan Gampingrejo kabupaten Kediri Jawa Timur.
Dikenal sebagai penulis kitab yang produktif KH Ihsan menulis banyak karya atau kitab dalam bahasa Arab. Di antara karyanya yang sempat terlacak adalah kitab Siraj al-Talibin (Pelita Para Pencari), Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa al-Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tasyrih al-‘Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijah al-Miqat-nya Kyai Dahlan Semarang) yang ditulis ketika berumur 29 tahun dan kitab Manahij al-Imdad (syarah Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari dari India Selatan) setebal 1000 halaman dan baru terbit tahun 2006.
Kitab ini disusun pengarangnya pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 oleh penerbitan dan percetakan ‘An Nabhaniyah’ milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Ahmad) di Surabaya bekerja sama dengan sebuah percetakan besar di Kairo Mesir yaitu penerbit dan percetakan ‘Mustafa al-Babi al-Halabi’ yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya para ulama abad pertengahan. Kitab ini kemudian dicetak oleh Dar al-Fikr sebuah percetakan dan penerbitan besar di Lebanon dan terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua berisi 554 halaman.
Kitab Siraj al-Thalibin beredar sejak diterbitkan hampir satu abad lalu di Indonesia dan juga di negara-negara yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Bahkan di negara-negara non Islam dimana di situ terdapat jurusan Filsafat, Teosofi dan Islamologi pada perguruan tinggi seperti di Amerika, Kanada dan Australia kitab tersebut ada. Gus Dur, pertama kali mengenal kitab ini justru ketika belajar di Baghdad Irak medio tahun 1967-1970. Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Perancis Gus Dur juga bertemu dengan beberapa sarjana muslim pengagum al-Ghazali di Eropa Barat tersebut yang memuji kitab Siraj al-Thalibin ini.
Kitab Siraj al-Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh masyarakat muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai kadar nilai akademis yang tinggi sehingga dijadikan buku pegangan wajib untuk kajian Postgraduate di Al-Azhar University Kairo Mesir. Barangkali karena itulah raja Faruq yang sedang berkuasa di Mesir pernah mengirim utusan ke Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Al-Azhar University. Akan tetapi Kyai Ihsan kemudian menolak dan lebih memilih mengajar santrinya di pesantren. Siraj al-Thalibin merupakan kitab tasawuf syarah dari kitab yang berjudul Minhaj al-‘Abidin karya Imam al-Ghazali seorang ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat pada tahun 1111 M.
Dalam menyusun kitab ini Kyai Ihsan memiliki kematangan gaya berbahasa, kejernihan daya ungkap, kecepatan dalam mengomunikasikan pernyataan ulama terdahulu dan memosisikan pernyataannya di tengah-tengah ulama yang berseberangan. Dan menariknya, ketika menjelaskan madzhab-madzhab di kalangan ahli bahasa dan penggunaan lafadz-lafadz tertentu di dalam suku-suku Arab, seolah-olah Kyai Ihsan pernah mukim begitu lama di tanah Arab dan ikut bercengkerama bersama mereka.
Satu point yang cukup menarik, tidak seperti lazimnya kitab syarah yang hanya memperlebar bahasan dan memberi komentar, Kyai Ihsan dengan kitab Siraj al-Thalibin-nya tidak kehilangan identitas sebagai mu`allif (pengarang). Di dalam kitab ini, Kyai Ihsan telah mengumpulkan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyeluruh baik dalam bidang tafsir, hadits, semantik, sejarah, maupun riwayat-riwayat para ulama dan sahabat. Gaya tulisannya dalam bahasa Arab cukup kuat dan dalam sehingga menjadi ciri khas dari sosok Kyai Ihsan sendiri. Saya sendiri membuktikan ‘kesulitan’nya, khususnya pada masalah ruju’ dhamirnya. Jadi, ketika mengkaji kitab ini seyogyanya memang ada pembimbingnya.
Wallahu a’lam..

Kamis, 10 November 2016

FUSUS AL-HIKAM: SATU MATAN BERBILANG SYARAH

Kitab Fusus al-Hikam boleh dibilang bentuk paling matang dari gagasan Ibnu ‘Arabi sekaligus ringkasan dari seluruh pemikirannya yang sulit dipahami karena sifat esoteriknya. Kitab yang paling banyak dikomentari dan mengundang kontroversi. Siapapun harus banyak menelusuri kitab-kitab Ibnu ‘Arabi yang lain di samping kitab ini, lalu menganalisa dan mensintesa serta mengumpulkan bagian yang terpencar di sana-sini yang ada relevansinya di antara rincian-rincian yang tidak ada relevansinya, sebelum sampai kepada suatu sistem.
Fusus al-Hikam disamping Futuhat al-Makkiyah selalu terkucilkan dan dihindari, disembunyikan dan dirahasiakan. Tak seorang pun berani mengeksposenya. Sejarah mencatat, kapan pun dijumpai kitab Ibnu ‘Arabi pada seseorang, akan dirampas, dibakar, dan ia akan didera hukuman. Jika ia percaya kebenarannya, akan dibunuh.
Akan tetapi ditemukan fakta penting bahwa sepanjang sejarah, tradisi pengkafiran atas Ibnu ‘Arabi dan penolakan terhadap ajaran-ajarannya sesungguhnya tidak pernah menjadi pandangan dominan ulama Islam. Alih-alih mengkafirkan, mereka justru merasa amat penting menghadirkan pandangan-pandangan Ibnu ‘Arabi ke tengah publik, sebagaimana dapat kita saksikan dari begitu banyaknya kitab yang ditulis untuk mensyarah Fusus al-hikam yang memang terkenal amat rumit itu.
Dari 125 judul karya tentang Fusus al-Hikam, 114 karya berada di barisan Ibnu ‘Arabi: 81 karya sebagai syarah dan selebihnya untuk membela, menuliskan manaqib ataupun yang lain. Di sisi berseberangan, hanya 11 karya ditulis untuk menyerang. Dengan demikian, persentase antara yang pro dan kontra adalah 91,2 % : 8,8 %. Ddan dari 85 penulis secara keseluruhan, 76 berada di barisan Ibnu ‘Arabi, dan hanya 9 saja yang mengambil sikap berbeda, dengan persentasenya 89,4 % : 10,6 %. Persentase ini tidak sepenuhnya valid mengingat terlalu banyak judul kitab yang tidak terakses.
Disamping sulit dipahami ternyata kitab ini juga mengundang kontroversi dalam pemahamannya. Usaha untuk memahaminya memerlukan kesabaran, ketekunan, ketelitian, kepekaan pemahaman dan imajinasi dari pembaca yang harus siap mengikuti alur piker sufi terkemuka ini sepanjang lorong-lorong pemikiran dan penjelasannya. Karena sulitnya, karya ini hampir tidak bisa dipahami tanpa bantuan syarah-syarah (komentar-komentar) atau bimbingan seorang guru yang menguasai teks kitab ini melalui kajian bertahun-tahun.

Senin, 21 September 2015

FIQH AL-IKHTILĀF: SEBUAH METODE DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN

Akhir-akhir ini banyak kita temui berbagai macam polemik dan topik perdebatan yang ada di media sosial. Tidak jarang perdebatan tersebut diiringi dengan hujatan dan cacian. Wacana penafsiran dianggap sebagai hal yang mutlak kebenarannya. Agamapun, sebagai obyek penafsiran, menjadi lahan yang subur bagi konflik kepentingan yang menyulut perdebatan. Ditambah dengan kehadiran berbagai jenis media sosial memungkinkan semua orang untuk ikut-ikutan nimbrung tanpa memahami akar permasalahan. Mereka tidak memahami apa alasan dan bagaimana metode berpikir yang melatarbelakangi suatu gagasan itu muncul. Tidak bisa memilah dan memilih mana yang ajaran agama, kebudayaan dan mana yang hasil dari kemajuan peradaban.
Debat kusir penuh emosional dan ngeyel tanpa memperhatikan tradisi ilmiah dalam berdiskusi merupakan awal perpecahan yang sebetulnya harus dihindari. Para ulama dan pemikir zaman dahulu sebetulnya sudah memberi contoh tentang perdebatan yang sehat, ilmiah, argumentatif dan berorientasi pada karya. Hal ini bisa kita lihat pada karya-karya tulis mereka yang sampai pada kita hari ini. Di antaranya adalah kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid sebuah kitab fiqih yang ditulis oleh seorang filosof dan mujtahid berasal dari Spanyol yang bernama Ibnu Rushd dan di Barat dikenal dengan sebutan Averoes.
Di tengah perdebatan dalam bidang fiqih yang selama ini hanya berfokus pada produk hukum nir kajian metode dan dalīl kiranya perlu dikembangkan kajian yang berorientasi pada kajian-kajian metodologis. Hal inilah yang ditawarkan oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah. Diilhami oleh metode berpikir yang filsafati dia mampu membangkitkan semangat berpikir baru dalam bidang ilmu fiqih.
Produk-produk hukum yang ada dari berbagai madzhab dia pelajari secara tekun dan teliti, kemudian ditelusuri dalil-dalil dan metode yang mereka gunakan dalam memproduk hukum tersebut. Selanjutnya dia menetapkan konklusi hukum dari permasalahan yang ada dengan pertimbangan dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi zamannya. Menarik, karena sebagai filosof yang terbiasa berpikir liberal ternyata dia juga menulis kitab fiqih yang nota bene berpola pikir literal.
Karya fiqih Ibnu Rushd benar-benar tidak boleh diabaikan karena nilai sudut pandang filosofisnya. Ia meninggalkan dalam karya utamanya Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid- yang sebagian besar ditulis sejak sekitar tahun 564 H/1168 M- sebuah uraian logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilāf (ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan –dalam setiap hal, setiap sudutnya –pendapat-pendapat yang diajukan oleh berbagai madzhab kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh madzhab besar.
Meskipun ikhtilāf itu lebih sering bersifat polemik, bagi ibnu Rushd ikhtilāf itu sendiri adalah suatu metode, suatu cara menyoroti prinsip-prinsip yang menimbulkan perbedaan. Dalam fiqih, pengarang tidak bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu madzhab disetujui berdasarkan penafsiran madzhab lain.
Tujuan Bidāyah adalah menunjukkan apa yang harus diperhatikan para faqīh (ahli fiqih) jika mereka tidak taklid kepada mazhab tertentu. Faqīh yang benar itu menonjol bukan karena fakta yang mereka ketahui, tetapi karena kemampuan mereka dalam menerapkan fakta itu pada setiap situasi yang nyata. Isi Bidāyah cukup memberikan kemampuan ini pada mereka.
Ibnu Rushd berpendapat bahwa hukum tidak mungkin rusak dan lemah dalam dirinya sendiri. Jika ada yang tidak konsisten, itu tentu disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap sumbernya. Bidāyah adalah suatu komentar atas hukum yang dimaksudkan untuk membahas semua masalah dalam urutan dan tatanan yang ideal –yang pada kenyataannya jarang terwujud dalam teks.
Menurut Jasser Auda ada tiga corak pemikiran hukum Islam yang tersebar luas di komunitas Muslim di manapun mereka berada. Pertama, Islamic Tradisionalism, Islamic Modernism dan Islamic Post-modernism. Di dalam lingkup Islamic Tradisionalism ada empat varian, yaitu: (1) Scholastic Tradisionalism, (2) Scholastic Neo-Traditionalism, (3) Neo-Literalism dan (4) Ideology- Oriented Theories. Kajian ibnu Rushd dalam Bidāyah termasuk ke dalam varian Scholastic Neo-traditionalism karena bersifat terbuka terhadap lebih dari satu madzhab untuk dijadikan referensi terkait suatu hukum, dan tidak terbatas pada satu madzhab saja. Ada beberapa jenis sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh madzhab fiqih dalam Islam, hingga sikap terbuka pada madzhab Sunni atau Syi’ah saja.
Langkah-langkah yang bersifat metodologis yang ditawarkan oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah yang bisa kita rangkum adalah sebagai berikut:
1. Petunjuk praktis tentang landasan umum.
2. Petunjuk umum tentang wilayah yang kontroversial.
3. Pandangan masing-masing faqih yang menyebabkan perbedaan.
4. Pengujian terhadap alasan-alasan perbedaan.
5. Usulan cara-cara untuk memahami secara rasional perbedaan-perbedaan ini dan juga untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu atau, paling tidak, mengklasifikasikan perbedaan-perbedaan itu agar lebih bisa diterima.
6. Pengujian terhadap kesahihan hadis.
7. Pengujian terhadap dampak teks itu (misalnya; apakah literer ataukah metaforis?) bagi setiap faqih.
8. Pengujian terhadap teks dan pemakaiannya oleh masing-masing faqih (pengertian umum atau khusus)
9. Masalah naskah dan mansukh.
10. Kekuatan relatif suatu teks (misalnya: wajib atau sunnah).
11. Pertimbangan terhadap kecenderungan intelektual (dhauq ‘aqlī)
      setiap faqih.
12. Penolakan sesekali terhadap suatu pendapat yang tidak
      bermakna.
13. Dalam  kesempatan yang langka, penegasan pendapatnya
      sendiri.
Memang, karya yang ditulis pada zaman dahulu bukan berarti selalu ketinggalan zaman. Banyak kemungkinan karya ulama yang sudah kita lupakan justru memberikan manfaat dan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada masa kini. Contohnya metode fiqh al-khtilāf yang disumbangkan Ibnu Rushd ini terasa manfaatnya jika digunakan untuk menyikapi polemik dan perselisihan-perselisihan yang terjadi pada masa sekarang. Dengan mengkaji dan membandingkan pendapat-pendapat yang diperselisihkan secara metodologis beserta relevansinya dalam hidup kekinian maka semua perdebatan yang tidak perlu dan terjebak dalam saling menyalahkan diharapkan bisa dihindari dan diselesaikan dengan baik. Wallahu a’lam.

Judul               : Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid
Penulis             : Al-Imām al-Qādī Ibnu Rushd
Penerbit           : Dār al-Fikri
Tahun              : -
Tebal               : 741 halaman (Juz I & II)
Dibeli tahun    : 1993