Senin, 05 Mei 2014

KEBOSANAN TERHADAP MODERNISME


Sejarah mencatat bahwa modernisme telah membawa Barat ke ambang kemajuan yang ditandai dengan kapitalisme dan individualisme serta kebangkitan Barat sebagai satu-satunya kekuatan peradaban. Sebagai sebuah proyek, modernisme tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi filosofis yang membentuk pandangan-dunia dan menjadi fondasi dasar dari seluruh bangunan epistemologisnya.
Antara lain, asumsi bahwa pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral, bebas-nilai (free-valued); bahwa manusia merupakan subjek, sementara alam menjadi objek; bahwa pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif, gamblang dan jelas (distinctive); bahwa rasio dan akal budi merupakan sumber dan satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat; bahwa manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya memegang kendali (dan monopoli) atas berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi dan aspek-aspek kehidupan lainnya.
Gelombang postmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis tersebut dan mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme untuk mempertahankan proyek Pencerahannya. Dalam bidang filsafat, ”postmodernisme” secara resmi diperkenalkan oleh Jean-François Lyotard melalui karya seminalnya, The Posmodern Condition: A Report on Knowledge. Jean François Lyotard adalah filsuf kelahiran Versailles (Perancis) yang mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus postmodernisme. Bukunya ini menjadi sebuah pijakan tentang postmodern.
Di sini Lyotard memaparkan bagaimana asumsi-asumsi filosofis modernisme sedikit demi sedikit mulai berguguran dan kehilangan legitimasinya. Lyotard menyebut asumsi-asumsi tersebut sebagai “narasi-narasi besar” (grand narratives) yang basis legitimasinya berupa rasionalisme, positivisme, materialisme dan humanisme. Semua paham ini melegitimasi proyek-proyek Pencerahan seperti Kebebasan, Kemajuan atau Emansipasi. Pada intinya, sederetan narasi ini ingin mempertegas posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat.
Narasi-narasi besar ini kini di era postmodern telah usang dan tidak relevan lagi, karena ternyata ditemukan bahwa kedudukan manusia dan rasio bukanlah segala-galanya, dan bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak seluruhnya bersifat objektif sebagaimana yang diduga, melainkan lahir dari pengalaman dan sering kali ambigu, eksistensial dan dramatik. Selain itu, menurut Lyotard, narasi-narasi besar yang didengung-dengungkan para filsuf Pencerahan terbukti otoriter karena menotalkan segala bentuk pengetahuan ke dalam suatu sistem yang koheren dan stabil.
Dalam masyarakat kontemporer, sebagai perwujudan masyarakat postmodernisme, sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Pengetahuan dan kebenaran kini menyebar dan plural. Realitas-realitas baru: seni bumi, seni avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam, arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, adalah benih-benih lahirnya pemikiran postmodernisme.
Dari perspektif ini, ”posmodernisme” dapat dimaknai sebagai ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, yang menjelma dalam filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk sistem pemikiran yang menotalisasi, seperti Hegelianisme, Marxisme, Liberalisme dan sebagainya. Isinya meninjau pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam masyarakat kapitalis yang sudah maju dan punya implikasi merusak.
Buku yang segera menjadi klasik ini adalah buku referensi penting dalam kehidupan dan ilmu pengetahuan. Asalnya buku ini ditulis sebagai laporan tentang pengetahuan yang diperoleh dari pemerintahan Quebec.
Dengan menggunakan bahasa filsafat yang kental buku ini agak sulit dipahami. Apalagi jika konsep-konsep dasar Modernisme yang menjadi sasaran kritik buku ini tidak dimengerti terlebih dahulu. Dengan kondisi seperti ini pengalihan bahasa ke dalam bahasa Indonesia juga menjadi permasalahan serius. Membacanya membuat dahi berkerut.