Sejarah mencatat bahwa modernisme telah membawa Barat ke ambang kemajuan
yang ditandai dengan kapitalisme dan individualisme serta kebangkitan Barat
sebagai satu-satunya kekuatan peradaban. Sebagai sebuah proyek, modernisme
tidak bisa dilepaskan dari asumsi-asumsi filosofis yang membentuk
pandangan-dunia dan menjadi fondasi dasar dari seluruh bangunan
epistemologisnya.
Antara lain, asumsi bahwa pengetahuan senantiasa bersifat objektif, netral,
bebas-nilai (free-valued); bahwa manusia merupakan subjek, sementara
alam menjadi objek; bahwa pengetahuan kita terhadap realitas adalah positif,
gamblang dan jelas (distinctive); bahwa rasio dan akal budi merupakan
sumber dan satu-satunya otoritas yang memiliki kebenaran tak tergugat; bahwa
manusia adalah pelaku dan penggerak sejarah dan karenanya memegang kendali (dan
monopoli) atas berbagai perubahan sosial, politik, ekonomi dan aspek-aspek
kehidupan lainnya.
Gelombang postmodernisme mematahkan asumsi-asumsi filosofis tersebut dan
mempertanyakan klaim-klaim yang dianut modernisme untuk mempertahankan proyek
Pencerahannya. Dalam bidang filsafat, ”postmodernisme”
secara resmi diperkenalkan oleh Jean-François Lyotard melalui karya seminalnya,
The Posmodern Condition: A Report on Knowledge. Jean François Lyotard
adalah filsuf kelahiran Versailles
(Perancis) yang mulai meletakkan dasar argumentasi filosofis dalam diskursus
postmodernisme. Bukunya ini menjadi sebuah pijakan tentang postmodern.
Di sini Lyotard
memaparkan bagaimana asumsi-asumsi filosofis modernisme sedikit demi sedikit
mulai berguguran dan kehilangan legitimasinya. Lyotard menyebut asumsi-asumsi
tersebut sebagai “narasi-narasi besar” (grand narratives) yang basis
legitimasinya berupa rasionalisme, positivisme, materialisme dan humanisme. Semua paham ini melegitimasi proyek-proyek Pencerahan
seperti Kebebasan, Kemajuan atau Emansipasi. Pada intinya, sederetan narasi ini
ingin mempertegas posisi manusia sebagai subjek dan rasio sebagai pusat.
Narasi-narasi besar ini kini di era postmodern telah usang dan tidak
relevan lagi, karena ternyata ditemukan bahwa kedudukan manusia dan rasio
bukanlah segala-galanya, dan bahwa pengetahuan kita tentang dunia tidak
seluruhnya bersifat objektif sebagaimana yang diduga, melainkan lahir dari
pengalaman dan sering kali ambigu, eksistensial dan dramatik. Selain itu,
menurut Lyotard, narasi-narasi besar yang didengung-dengungkan para filsuf
Pencerahan terbukti otoriter karena menotalkan segala bentuk pengetahuan ke
dalam suatu sistem yang koheren dan stabil.
Dalam masyarakat kontemporer, sebagai perwujudan masyarakat postmodernisme,
sumber pengetahuan dan kebenaran pengetahuan tidak lagi tunggal. Pengetahuan
dan kebenaran kini menyebar dan plural. Realitas-realitas baru: seni bumi, seni
avant garde, seni video, sastra marjinal, sastra yang terdiam,
arsitektur dekonstruksi, antropologi kesadaran, adalah benih-benih lahirnya
pemikiran postmodernisme.
Dari perspektif ini, ”posmodernisme” dapat dimaknai sebagai
ketidakpercayaan terhadap segala bentuk narasi besar, yang menjelma dalam
filsafat metafisis, filsafat sejarah dan segala bentuk sistem pemikiran yang
menotalisasi, seperti Hegelianisme, Marxisme, Liberalisme dan sebagainya. Isinya
meninjau pengetahuan, ilmu dan teknologi dalam masyarakat kapitalis yang sudah
maju dan punya implikasi merusak.
Buku yang segera menjadi klasik ini adalah buku referensi penting dalam
kehidupan dan ilmu pengetahuan. Asalnya buku ini ditulis sebagai laporan
tentang pengetahuan yang diperoleh dari pemerintahan Quebec.
Dengan menggunakan bahasa filsafat yang kental buku ini agak sulit
dipahami. Apalagi jika konsep-konsep dasar Modernisme yang menjadi sasaran
kritik buku ini tidak dimengerti terlebih dahulu. Dengan kondisi seperti ini
pengalihan bahasa ke dalam bahasa Indonesia juga menjadi permasalahan serius.
Membacanya membuat dahi berkerut.