Rabu, 25 Oktober 2017

FUSUS AL-HIKAM: SEBUAH KONTRADIKSI?

~ Aku melihat Rasulullah dalam suatu kunjungan kepadaku pada akhir Muharram 627, di kota Damaskus. Beliau memegang sebuah kitab dan berkata kepadaku, “Ini adalah kitab Fusūs al-Hikam, ambil dan sampaikan kepada manusia agar mereka dapat mengambil manfaat darinya.” Aku menjawab, “Segala ketundukan selayaknya dipersembahkan ke hadirat Allah dan Rasul-Nya; ketundukan ini seharusnya dilaksanakan sebagaimana kita diperintahkan.” Oleh karena itu, aku melaksanakan keinginan tersebut, memurnikan niatku, dan mencurahkan maksudku untuk menerbitkan kitab ini, seperti diperintahkan sang Rasul, tidak ada tambahan atau pengurangan di dalamnya. ~

Selanjutnya fakta berbicara, keseluruhan teks Fusūs al-Hikam adalah karya yang sulit dipahami dan membingungkan. Membutuhkan kesabaran luar biasa, kedalaman imajinasi dan kesiapan pembaca untuk mengikuti guru sufi itu sepanjang lorong pemikiran dan penyingkapannya yang berliku-liku. Secara khusus, kitab ini juga sebuah karya yang sulit diterjemahkan ke dalam bahasa-bahasa lain dalam suatu cara, sehingga menciptakan beberapa reduksi pemahaman bagi para pembaca non-Arab dan non-Muslim.

Kemudian yang menjadi permasalahan adalah, pada point pertama kitab ini ditujukan bagi khalayak manusia agar mereka mengambil manfaat seluas-luasnya. Sedangkan point kedua mengatakan, kitab ini sulit dipahami dan membingungkan. Artinya tidak semua manusia bisa memahaminya. Jadi, apakah pernyataan di atas itu sesuatu yang kontradiktif? Ternyata tidak, sebenarnya Ibnu ‘Arabi setiap menulis karyanya menggunakan metode khusus untuk mendekati pembacanya. Hal ini dijelaskannya sendiri dalam bagian-bagian yang tersebar di banyak karyanya.

Ibnu ‘Arabi menuangkan gagasannya dalam bentuk tulisan dan mengambil jarak dari wilayah rasional dengan memasukkan unsur-unsur mistik atau satu bentuk pengetahuan yang didasarkan pada ‘praduga’ dan intuisi bukan berdasarkan bukti dan data faktual. Padahal menurut pandangan kita, pembacaan teks adalah sebentuk pembacaan lain yang produktif dengan menyelami kedalaman maknanya dengan melihat apa yang ditampakkan bukti dan data teks tersebut.

Dimana hal tersebut dilakukan dengan memperbanyak analisa dan pengungkapannya demi memahami khazanah teori, paradigma pemikiran, metodologi dalam penelitian, pembahasan atau hasil-hasil interpretasi dan kandungan ilmiah di dalamnya. Dengan itu semua, diharapkan seseorang bisa memandang sebuah teks berdasarkan kekayaan dan keragaman data dan bukti serta bisa membedakan irrasionalitas dari rasionalitasnya.

Akan tetapi Ibnu ‘Arabi disaat berbicara tentang kegaiban dan irrasionalitas menggunakan metode pemikiran yang mengandung aspek dialektis dan menyembunyikan beberapa terminologi yang memiliki nilai praktis. Ada serangkaian definisi konotatif yang dikumpulkan oleh Ibnu ‘Arabi dalam teks yang ditulisnya. Dengan metode ini, ia menuntaskan persoalan seputar keberadaan dan hakikat segala sesuatu dengan teliti dan keterbukaan penuh.

Ketika kita masih membicarakan tentang teks dan metode pembacaannya, Ibnu ‘Arabi telah menyelami teks dan berusaha membacanya dengan menganggapnya sebagai wacana plural yang dapat dinilai secara berbeda dengan perbedaan pembacaannya. Paham mistik Ibnu ‘Arabi mencerminkan karakteristik rasional yang sangat luas dan lebih kuat dari apa yang kita sangka dan kita bayangkan.

Teks Ibnu ‘Arabi membuka diri untuk pembacaan yang berbeda dalam teks yang dibaca disamping menggunakan subyektivitas dirinya secara bersamaan, sehingga lahirlah sebuah teks yang baru dan aktivitas ilmiah yang bersifat kreatif secara berkesinambungan. Bukan pengulangan, penyederhanaan atau kesia-siaan. Oleh karena itu, tidak ada satu kata pun di dalamnya yang lepas dari metafora (majāz). Karena di dalam metafora terdapat fantasi dan simbolisasi serta imajinasi dan alegori yang bermanfaat untuk memperkaya makna teks.

Singkatnya, kitab Fusūs al-Hikam adalah sebuah kitab yang kaya makna. Teksnya memungkinkan bagi setiap orang yang mempunyai kemampuan untuk melakukan penelusuran hermeneutis dan mengambil manfaat dari pemaknaannya seluas-luasnya. Atau pesan sponsornya, bagi yang ingin menikmati teksnya, disarankan untuk menguasai ilmu 'membaca' secara mendalam. Inilah penjelasan yang dimaksud dalam mimpi Ibnu ‘Arabi di atas.
Wallahu a’lam..


Kamis, 06 April 2017

KITAB SIRAJ AL-THALIBIN



Saya intensif mengkaji kitab ini sekitar tahun 1992-1993 dari sosok kyai yang sabar dan pendiam, yaitu KH Alimuddin (alm.) dari desa Ganjar kecamatan Godanglegi kabupaten Malang. Beliau adalah santri langsung dari pengarang kitab tersebut sekaligus menantunya. Kitab ini diitulis oleh KH Ihsan Dahlan atau dikenal dengan KH Ihsan Jampes pada usia 31 tahun. Seorang kyai pengasuh pesantren Jampes di desa Putih kecamatan Gampingrejo kabupaten Kediri Jawa Timur.
Dikenal sebagai penulis kitab yang produktif KH Ihsan menulis banyak karya atau kitab dalam bahasa Arab. Di antara karyanya yang sempat terlacak adalah kitab Siraj al-Talibin (Pelita Para Pencari), Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa al-Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tasyrih al-‘Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijah al-Miqat-nya Kyai Dahlan Semarang) yang ditulis ketika berumur 29 tahun dan kitab Manahij al-Imdad (syarah Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari dari India Selatan) setebal 1000 halaman dan baru terbit tahun 2006.
Kitab ini disusun pengarangnya pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 oleh penerbitan dan percetakan ‘An Nabhaniyah’ milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Ahmad) di Surabaya bekerja sama dengan sebuah percetakan besar di Kairo Mesir yaitu penerbit dan percetakan ‘Mustafa al-Babi al-Halabi’ yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya para ulama abad pertengahan. Kitab ini kemudian dicetak oleh Dar al-Fikr sebuah percetakan dan penerbitan besar di Lebanon dan terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua berisi 554 halaman.
Kitab Siraj al-Thalibin beredar sejak diterbitkan hampir satu abad lalu di Indonesia dan juga di negara-negara yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Bahkan di negara-negara non Islam dimana di situ terdapat jurusan Filsafat, Teosofi dan Islamologi pada perguruan tinggi seperti di Amerika, Kanada dan Australia kitab tersebut ada. Gus Dur, pertama kali mengenal kitab ini justru ketika belajar di Baghdad Irak medio tahun 1967-1970. Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Perancis Gus Dur juga bertemu dengan beberapa sarjana muslim pengagum al-Ghazali di Eropa Barat tersebut yang memuji kitab Siraj al-Thalibin ini.
Kitab Siraj al-Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh masyarakat muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai kadar nilai akademis yang tinggi sehingga dijadikan buku pegangan wajib untuk kajian Postgraduate di Al-Azhar University Kairo Mesir. Barangkali karena itulah raja Faruq yang sedang berkuasa di Mesir pernah mengirim utusan ke Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Al-Azhar University. Akan tetapi Kyai Ihsan kemudian menolak dan lebih memilih mengajar santrinya di pesantren. Siraj al-Thalibin merupakan kitab tasawuf syarah dari kitab yang berjudul Minhaj al-‘Abidin karya Imam al-Ghazali seorang ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat pada tahun 1111 M.
Dalam menyusun kitab ini Kyai Ihsan memiliki kematangan gaya berbahasa, kejernihan daya ungkap, kecepatan dalam mengomunikasikan pernyataan ulama terdahulu dan memosisikan pernyataannya di tengah-tengah ulama yang berseberangan. Dan menariknya, ketika menjelaskan madzhab-madzhab di kalangan ahli bahasa dan penggunaan lafadz-lafadz tertentu di dalam suku-suku Arab, seolah-olah Kyai Ihsan pernah mukim begitu lama di tanah Arab dan ikut bercengkerama bersama mereka.
Satu point yang cukup menarik, tidak seperti lazimnya kitab syarah yang hanya memperlebar bahasan dan memberi komentar, Kyai Ihsan dengan kitab Siraj al-Thalibin-nya tidak kehilangan identitas sebagai mu`allif (pengarang). Di dalam kitab ini, Kyai Ihsan telah mengumpulkan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyeluruh baik dalam bidang tafsir, hadits, semantik, sejarah, maupun riwayat-riwayat para ulama dan sahabat. Gaya tulisannya dalam bahasa Arab cukup kuat dan dalam sehingga menjadi ciri khas dari sosok Kyai Ihsan sendiri. Saya sendiri membuktikan ‘kesulitan’nya, khususnya pada masalah ruju’ dhamirnya. Jadi, ketika mengkaji kitab ini seyogyanya memang ada pembimbingnya.
Wallahu a’lam..