Senin, 13 November 2023

AL-NIFFARĪ DAN RANTAI KEILMUAN IRFANI

 


AL-NIFFARĪ DAN RANTAI KEILMUAN IRFANI

 Sepanjang penelusuran literatur khumul merupakan sifat yang melekat pada orang yang dianugerahi ilmu Irfani. Selain sifat yang berasal dari internal dirinya kekhumulan seseorang juga didukung oleh kondisi tertentu secara eksternal. Mungkin seseorang punya karakter pemalu, penyendiri, tidak suka menonjolkan diri, tidak suka tampil beda, tidak suka popularitas, tidak ingin dikenal banyak orang dan sebagainya.

 Tetapi di sisi lain ada pengondisian dari luar dirinya. Seperti ada kejadian yang senantiasa menghalanginya untuk tampil ke depan. Ada saja peristiwa atau hal-hal yang mencegahnya supaya tidak terekspos ke khalayak ramai. Bahkan lebih jauh dia mungkin tidak dikenali oleh orang-orang sezamannya dengan cara tertentu sebagaimana kisah Muhammad ibn Abd al-Jabbār ibn al-Hasan al-Niffarī.

 Al-Niffarī, seseorang yang hidup pada abad ke empat hijriyah dan wafat pada tahun 354 Hijriyah pada masanya tidak dikenal. Secara lahiriah dia hanyalah seorang pengembara yang tidak punya tempat tinggal yang menetap. Hidupnya terlunta-lunta (muwallah) dan terkucil dari pergaulan masyarakat. Di kalangan komunitas sufi, di mana kelak dia dikenal sebagai salah satu tokohnya juga tersisihkan. Sesaat memang ada sebagian kecil orang yang mengenalnya tetapi kemudian namanya semakin meredup dan menghilang.

 Para tokoh sufi sekaligus penulis pada zamannya pun tidak mencatat namanya dalam karya-karya mereka. Seperti al-Ṭūsi dalam kitab Luma’-nya, al-Kalābadhī dalam kitab Ta’arruf-nya, al-Sulamī dalam kitab Tabaqāt-nya, al-Qushayrī dalam kitab Risālah-nya, maupun Abu Naim dalam kitab Hilyah-nya. Padahal mereka hidup sezaman dengan al-Niffarī. Hanya kitab al-Mawāqif dan al-Mukhātabāt karya yang bisa dikenali dari dirinya. Itu pun orang tidak menyebut namanya secara langsung sebagai penulis kitabnya. Mereka hanya menyebut identitasnya dengan penulis al-Mawāqif.

 Kitab ini sendiri sebetulnya tidak ditulis secara khusus semasa hidupnya. Awal mulanya dia hanya bertujuan mencatat pengalaman-pengalaman spiritualnya dalam banyak lembaran kertas. Tetapi kemudian ada yang mengumpulkan dalam wujud satu kitab setelah kematiannya. Kalau dilihat dari karyanya ini sebenarnya dia sudah mencapai derajat yang tinggi dalam bidang spiritual, meskipun tidak ada keinginan baginya untuk menulis karya secara khusus atau menyusun konsep-konsep kesufian dan menyebarkannya sebagaimana tokoh sufi yang lain.

 Orang yang pertama kali menemukan dan menyebut nama al-Niffarī dan karyanya al-Mawāqif adalah Syaikh Akbar yang lahir 206 tahun setelah kewafatan al-Niffari dalam kitab al-Futūhāt. Selanjutnya nama dan karyanya sering disebut-sebut oleh Abū al-Ḥasan al-Shādhilī dalam forum majelis ilmunya. Menyusul Abū al-Hasan al-Shishtarī memasukkan namanya dalam qasidahnya yang terkenal dan menyebutnya dalam golongan para penghulu kaum Irfani. Tidak ketinggalan ada seorang pensyarah karya tasawuf yang kemudian menulis syarah dari al-Mawāqif yaitu Afīf al-Dīn al-Tilimsānī (lahir 610 H dan wafat 690 H) dan menulis sekelumit sejarah hidupnya.

 Terkait dengan mayoritas kehidupan kaum Irfani al-Harawī dalam kitabnya Manāzil al-Sā`irīn menggambarkan bahwa mereka merupakan kaum yang tinggi himmahnya dan jernih tujuan hidupnya. Perilakunya mulia dan patut menjadi teladan meskipun tidak ada yang mencatat kisah hidupnya sehingga terlupakan. Meskipun semasa hidupnya mereka bukan siapa-siapa dan tidak menarik perhatian publik menurut al-Harawī mereka merupakan harta simpanan Allah yang sangat berharga di dunia.

 Mencermati kisah di atas bisa ditemukan pola yang unik dari tradisi ilmu Irfani ini. Kalau dalam tradisi ilmu-ilmu lain penyebarluasannya melalui penulisan konsep yang matang, sengaja dicetak dan dipublikasikan, disebarkan, dikaji dan ditransmisikan dari generasi ke generasi secara sistematis. Sebaliknya pada tradisi ilmu Irfani gagasan dan pemikiran bisa jadi akan hilang dan terpendam seiring kewafatan tokohnya. Akan tetapi kemudian Allah akan memunculkan sosok-sosok lintas generasi yang tersentuh dengan gagasan dan pemikirannya. Merasa bertanggung jawab untuk mengkaji, meneliti dan menyampaikan kepada yang berhak menerimanya, meskipun berjarak ratusan tahun dan ribuan kilometer sebagaimana yang terjadi pada al-Niffari.

 Wallahu a’lam..