Senin, 02 Agustus 2010

SIAPA WALI ALLAH YANG SESUNGGUHNYA?






Judul buku    : Karamat Awliya’ Allah

Penulis           : Syekh Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan ibnu Mansur al-Tabari al-Lalika’i

Penerbit         : Dar Tayyibah

Tahun terbit : 1994 M / 1415 H

Tebal kitab    : 351 halaman

Menyimak judulnya saja, kitab yang ditulis oleh Syekh Abu al-Qasim Hibatullah ibn al-Hasan ibn Mansur al-Tabari al-Lalika’i (wafat tahun 418 H) ini sangat menarik. Karamat Awliya’ Allah, sebuah judul yang tentu memancing keinginan umat Islam untuk segera membacanya, khususnya bagi yang bergelut dalam bidang tasawuf. Kitab ini merupakan satu jilid (jilid 9) dari 20 jilid kitab yang semuanya berbicara tentang dasar-dasar akidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Percaya dengan adanya keramat (karamah) para wali adalah salah satu dasar akidah yang harus dipegang oleh umat Islam.
 Ditulis oleh seorang ulama yang berkompeten dalam masalah akidah, kitab ini bertujuan memberikan pemahaman, pengetahuan dan pedoman secara gamblang dan lugas kepada umat Islam tentang sosok Wali. Sosok yang sering disalahpahami dan disalahmengerti karena kekurangtahuan umat Islam mengenai hal ini. 
Kitab ini berusaha menerangkan makna karamah dan wali secara etimologis dan terminologis dari berbagai madzhab pemikiran yang ada disertai pendapat dari penulisnya sendiri. Dijelaskan pula ciri-ciri dan karakter wali Allah yang didasarkan pada tafsir al-Qur’an yang mu’tabar di kalangan umat Islam dan hadits yang terpercaya. Metode yang dipakai penulis dalam kitab ini yang pertama adalah selalu menukil hadits dan atsar dengan sanad yang terpercaya disertai derajat kesahihannya untuk memperkuat penjelasan-penjelasan di dalamnya.
Kitab ini juga memberikan contoh tentang kekeramatan wali mulai dari kisah yang terdapat dalam al-Quran, kisah-kisah karamah yang diambil dari hadits, kemudian karamah para sahabat dan generasi sesudahnya. Dalam menceritakan karamah para wali setelah generasi para sahabat pun disertai pula dengan rantai periwayatan yang lengkap.
 Yang membedakan kitab ini dengan kitab-kitab sejenis adalah penjelasannya yang sangat akurat dalam pengertian selalu menyebut sumber-sumber terpercaya. Bisa jadi kitab ini memberi informasi yang selama ini sering luput dari perhatian umat Islam, yaitu mengenai karamah para wali yang terkadang sering dicampuradukkan dengan hal-hal mistis, tingkah laku yang aneh bahkan kadang terkesan melanggar syari’at.
Bagi orang yang menganggap dirinya wali demi mencapai tujuan-tujun duniawi, kitab ini bisa menjadi tamparan yang menyakitkan karena di dalamnya disebutkan; di antara karakter wali Allah adalah selalu berpegang teguh dengan al-Quran dan Sunnah Nabi SAW dan tidak mengaku bahwa dirinya seorang wali. Jika ada orang yang mengaku bahwa dirinya seorang wali maka umat Islam harus segera tidak percaya bahwa dirinya seorang wali.
 Gaya bahasa Arab yang sederhana, mudah dipahami, tegas dan jauh dari bias kepentingan penulis adalah kesan yang akan diperoleh pembaca ketika membaca kitab ini. Kesan ini tidak mengada-ada, sebab uraiannya sendiri mirip dengan penulisan kitab-kitab hadits pada umumnya. 
 Akan tetapi, sebagai sebuah kitab yang bertujuan menggambarkan wali Allah, pemaparan yang terlalu menekankan sanad dan perawi menjadi kurang enak diikuti. Deskripsi yang sebetulnya bisa diikuti dengan menarik menjadi terkesan kering. Pembaca hanya dihadapkan pada potongan-potongan cerita yang terkesan berdiri sendiri. Sebetulnya, kalau ditulis dengan narasi yang mengalir penyampaiannya bisa lebih kaya nuansa, dramatik dan dapat menggugah inspirasi.
 Akan tetapi secara umum, kitab ini dapat memberi wacana baru bagi wacana-wacana yang sudah berkembang di kalangan umat Islam mengenai misteri para wali Allah yang selama ini lebih dipahami sebagai sosok yang sakti, misterius, nganeh-nganehi, ngowahi adat dan mungkin malah menakutkan.

Rabu, 14 Juli 2010

MANUSKRIP PATOKPICIS




Kitab ini merupakan manuskrip tulisan kakek yang sempat saya selamatkan. Dahulu ketika Belanda menyerbu desa Patokpicis kecamatan Wajak kabupaten Malang kitab-kitab milik kakek disembunyikan di dalam dobong (tempat rumput makanan sapi) dan ditutupi rerumputan dengan tujuan untuk menghindari kecurigaan Belanda. Ketika kakek diinterogasi oleh Belanda, beliau pura-pura bisu. Untuk menghindari hal-hal yang tidak dinginkan serta untuk menghindari kecurigaan Belanda, kita-kitab tersebut dalam jangka waktu lama tidak diambil. Ketika kondisi sudah aman, kitab-kitab tersebut ternyata banyak yang rusak karena lembab dan dimakan rayap.

Diantara kitab-kitab cetakan penerbit banyak juga yang berupa manuskrip asli tulisan tangan dan lembaran-lembaran risalah berupa tafsir al-Quran yang ditulis tangan juga. Ketiga naskah dan beberapa lembar risalah tentang tafsir inilah yang termasuk dalam kategori manuskrip tulisan tangan yang “terselamatkan”. Saya cari dan susun lembar demi lembar sehingga utuh dan urut halamannya.

Semangat menulis kitab tersebut kalau menurut saya, didorong oleh hobinya menulis khat (tulisan indah Arab). Bahkan konon, menurut orang-orang tua, karena tulisan khatnya bagus beliau diberi tanggung jawab oleh gurunya (KH Ihsan Jampes) untuk menulis naskah kitab Siraj al-Talibin (sebuah kitab yang mendunia) sebelum dikirim ke penerbit. KH Ihsan Jampes ini sempat menjadi adik ipar kakek dari pernikahan KH Ihsan yang pertama.

Kitab yang pertama bernama al-Maqsud, membahas tentang ilmu sharaf (disiplin ilmu bahasa Arab yang membahas tentang derivasi kata). Ditulis pada sebuah buku tulis dengan khat naskhi yang sangat indah disertai jenggotan (makna bahasa Jawa yang menggantung di bawah teks asli). Tersusun dalam 108 bait syair dan terbagi dalam lima bab. Bab pertama berisikan penjelasan tentang bentuk kata kerja lampau yang terdiri dari empat huruf asli (fi’l madhi ruba’i mujarrad). Bab yang kedua membahas tentang pembentukan kata kerja akan datang (fi’l mudhari’). Bab ketiga tentang pembentukan isim mubalaghah, sedangkan bab keempat mengkaji proses pembentukan isim al-maf’ul. Adapun bab terakhir atau bab kelima menjelaskan kaidah-kaidah penyerapan suku kata (al-ibdal).

Kitab yang kedua berjudul Syarh al-Hadi, juga membahas tentang ilmu sharaf dengan susunan pembahasan yang sama akan tetapi dengan penjelasan yang lebih luas dan mencapai ketebalan 178 halaman. Kitab yang ketiga berisikan ilmu falak atau astronomi. Sayang, halamannya tidak lengkap sehingga tidak diketahui judulnya.

Dari hasil penelusuran kitab-kitab kakek dan manuskrip yang saya lakukan, kebanyakan sudah tidak diterbitkan lagi atau tidak dijual di toko-toko kitab. Sehingga literatur-literatur seperti ini sangat berharga. Selama ini memang tidak ada kepedulian dari pihak keluarga untuk menjaganya, sehingga banyak yang hilang dan rusak. Tidak ditutup kemungkinan masih banyak manuskrip dan kitab-kitab kuno yang masih ada dan belum ditemukan. Untuk itu, selanjutnya akan saya lakukan lagi penelusuran supaya khazanah intelektual ini bisa “selamat”.

Selasa, 13 April 2010

MERENGKUH KEBIJAKAN DENGAN NOVEL FILSAFAT






Karya filsafat, dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu karya primer dan karya sekunder. Dalam karya primer filsafat, penulis menyajikan argument-argumen dan pandangan-pandangan yang orisinal tentang suatu topik tertentu. Dengan alasan ini, karya primer filsafat juga disebut “karya orisinal” filsafat. Karya primer bisa dimulai dengan ide sang penulis sendiri ataupun dengan ide orang lain, tetapi tujuannya adalah untuk mencapai suatu kebenaran berkenaan dengan ide itu. Dalam karya ini, Anda mungkin tidak hanya menjumpai kata-kata sulit, melainkan juga kalimat-kalimat yang rumit, yang kadangkala ditulis dalam gaya bahasa zaman dulu. Memang para filosof sering mengandaikan begitu saja adanya latar belakang intelektual atau kemampuan membaca dalam diri pembaca. Umumnya mereka juga berharap bahwa pembaca mereka adalah sesama filosof atau kaum intelektual. Sedangkan karya sekunder kadang-kadang disebut juga dengan “komentar”, berfungsi sebagai tuntunan untuk mengkaji karya primer. Isinya dapat berupa pemaparan pandangan para filosof, dapat juga mencakup pertanyaan-pertanyaan relevan mengenai detail historis, bisa berkenaan dengan persoalan interpretasi, atau dapat juga berusaha menjawab atau mengkritisi pernyataan yang disampaikan oleh para filosof atau kritikus lain.
Sebagian para filosof yang sekaligus sebagai sastrawan selain menulis karya-karya primer juga menulis karya sekunder dalam bentuk novel filsafat. Novel tersebut biasanya berisi tentang pemikiran-pemikiran filosofis mereka yang dituangkan melalui karakter-karakter imajinatif. Sebagai contoh, saya ambil beberapa novel filsafat yang berhasil saya temukan di toko-toko buku dalam beberapa bulan terakhir ini.
1. Candide: Optimisme dalam Hidup, karya Voltaire.
Dalam karya satir yang cemerlang ini, Voltaire habis-habisan menentang arus gagasan pada masanya bahwa semuanya terjadi untuk maksud terbaik, di dunia yang diciptakan dalam bentuk terbaik, yang paling mungkin. Serangan tajam dari Voltaire atas filsafatisasi sia-sia dan khayali pada masanya dan menjadi kontroversi pada saat publikasi pertamanya pada tahun 1759 yang pada waktu itu dikenal sebagai masa Pencerahan. Ia diingat pada zaman ini terutama karena serangannya terhadap optimisme filosofis, khususnya pernyataan Leibniz bahwa dunia ini adalah “dunia yang terbaik yang mungkin ada”. Dalam novel ini Voltaire juga menyerang dan melecehkan gereja Katolik, hierarki, doktrin-doktrin Kristen, fanatisme, serta kampanyenya yang menuntut reformasi social dan yuridis. Sebagai seorang deis, ia membela adanya Allah dengan membandingkan dunia dengan arloji: karena arloji dibuat oleh seseorang dengan tujuan tertentu, maka kita harus menyimpulkan bahwa dunia ini pun begitu juga. Ia mempercayai adanya rahmat yang umum (general providence), dan menekankan bahwa doa tidak dapat mengubah hukum alam yang abadi, juga tidak dapat menolak derita.
2. The Outsider, karya Albert Camus.
Sebuah karya roman yang mencengangkan. Gaya bercerita yang memikat, impresi yang ditampilkan begitu memikat. Penulisan roman ini, pada dasarnya netral dan putih, menjadi bagian dari sebuah kejadian lampau, dan memberi kesan tersendiri pada setiap kalimat. Gaya penulisan seperti ini menambahkan kesan kesendirian sang karakter dalam menghadapi keseharian (dunia) dan dirinya sendiri. The Outsider sebagai kisah seorang pria tanpa pretensi heroik, rela mati demi kebenaran. Dalam karyanya ini Camus berusaha menggambarkan bahwa alam raya ini angkuh dan tak peduli terhadap keprihatinan dan nilai-nilai manusia. Ia menyatakan pentingnya mempertahankan pertentangan antara dunia yang tanpa makna ini dengan tuntutan manusia akan makna yang tak terpuaskan. Pertentangan ini dinamakannya “yang absurd”, dan ia menantang: adakah kegiatan lain, selain pemberontakan atau revolusi, yang gagal mempertahankan agar “yang absurd” itu tetap hidup? Ia menolak bunuh diri dan lompatan iman yang mempostulatkan adanya makna, padahal sebenarnya tidak ada makna.
3. Kata-Kata, karya Jean-Paul Sartre.
Dalam karya-karyanya, Sartre dikenal sebagai orang yang mempopulerkan eksistensialisme melalui tulisan, drama, novel dan cerpen yang dibuatnya. Ia menyangkal adanya suatu “hakikat” manusia yang ada mendahului pilihan individual. Individu-individu menciptakan hakikat mereka sendiri melalui pilihan dan tindakan bebas mereka. Eksistensi mendahului esensi. Sartre menunjukkan bagaimana orang mencoba menyembunyikan dari dirinya sendiri kebebasan dan tanggung jawab dengan mengikuti paham determinisme atau teori-teori esensialis seperti anti- Semitisme atau melalui keterlibatan dalam bentuk-bentuk penipuan diri.
Menjelang usia lanjut, filosof Perancis yang paling berpengaruh pada abad ke-20 ini menyoroti masa kanak-kanaknya demi mencari asal-usul bakatnya sebagai pakar Kata-Kata. Analisa yang amat tajam –nyaris kejam- ini bukan luapan kerinduan. “Aku membenci masa kecilku dan segala yang tersisa dari periode itu,” tulisnya.
Melalui kisah seorang anak kalangan borjuis di Paris selama tahun-tahun menjelang Perang Dunia Pertama, Sartre melukiskan juga suatu golongan masyarakat Perancis tertentu. Buku memoir yang lain dari yang lain ini dilengkapi dengan sebuah album foto sebagai ilustrasi rujukan-rujukan budaya yang merupakan warisan intelektual Sartre.
3. The Alchemist, Karya Paulo Coelho.
"Mengapa kita harus mendengarkan suara hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu. "Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."
Demikian selintas percakapan antara sang Alkemis dan Santiago, anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya. Perjalanan tersebut membawanya ke Tangier serta padang gurun Mesir, dan di sanalah dia bertemu sang alkemis yang menuntunnya menuju harta karunnya, serta mengajarinya tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran, dan kegigihan.
Perjalanan itu pulalah yang membawanya menemukan cinta sejatinya: Fatima, gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.
Sang Alkemis telah menjadi salah satu buku yang paling banyak dibaca di dunia. Kisah sederhana yang indah dan menjadi sumber inspirasi bagi banyak orang.
Selain novel-novel di atas, bisa juga kita nikmati kelezatan novel-novel karya Jostein Gaarder. Keistimewaan Jostein Gaarder adalah ia dapat membuat suatu cerita berdasarkan filsafat dengan gaya populer. Ciri khas dari isi buku Jostein Gaarder tak lain kerap kali membawa & mengajak pembacanya untuk berfikir. Tanya dan pertanyaan seakan membanjiri alur cerita. Kecintaannya akan filsafat menambah bobot kualitas buku yang mana didukung pula oleh kepiawaiannya dalam bercerita sengan sentuhan sastra. Kalimat cerdas bertebaran di berbagai halaman, berebutan untuk memberikan kita pemikiran baru tentang kehidupan. Untuk lebih jelasnya mari kita simak karya-karyanya berikut ini.
1. Dunia Sophie. Novel ini bercerita tentang Sophie, seorang pelajar sekolah menengah, mendapat sebuah surat misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Belum habis keheranannya, pada hari yang sama, dia mendapat surat lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya dunia?” Seakan tersentak dari rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini. Sophie mulai belajar filsafat.
2. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Dua saudara sepupu, Berit dan Nils, tinggal di kota yang berbeda. Untuk berhubungan, kedua remaja ini membuat sebuah buku-surat yang mereka tulisi dan saling kirimkan di antara mereka. Anehnya, ada seorang wanita misterius, Bibbi Bokken, yang mengincar buku-surat itu. Bersama komplotannya, tampaknya Bibbi menjalankan sebuah rencana rahasia atas diri Berit dan Nils. Rencana itu berhubungan dengan sebuah perpustakaan ajaib dan konspirasi dalam dunia perbukuan. Berit dan Nils tidak gentar, bahkan bertekad mengungkap misteri ini dan menemukan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Dalam petualangan keduanya, kita akan mendapatkan banyak pengetahuan tentang dunia perbukuan.
3. Maya: Misteri Dunia dan Cinta. “Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan diperlukan hanya beberapa detik untuk mati”, demikianlah kata-kata bijak yang terdapat dalam novel ini. Novel ini menyoroti gagasan-gagasan besar: penciptaan alam semesta. Evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan dari keberadaan manusia. Jostein Gaarder, dalam novelnya yang berjudul Maya, hendak merangkum proses panjang evolusi manusia menuju munculnya kesadaran manusia lewat dialog-dialog cerdas para tokohnya. Tak hanya itu, ia dengan piawai memadukan kisah cinta, dongeng, misteri, filsafat, pengetahuan ilmiah, seni dan sejarah serta spiritualitas menjadi satu jalinan kisah yang kompleks tapi memikat. Dalam logika umum, masa lalu dan masa kini adalah rangkaian sebab akibat yang berjalan searah; masa lalu menjadi sebab terjadinya peristiwa di masa mendatang, bukan sebaliknya. Tetapi, di tangan Jostein Gaarder, peristiwa di masa kini atau masa mendatang bisa menjadi sebab bagi terjadinya peristiwa di masa lalu. Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi. Apakah Big Bang yang menjadi sebab manusia bertepuk tangan untuknya lima belas miliar tahun kemudian, ataukah tepuk tangan manusia di masa kini lah yang menjadi sebab terjadinya Big Bang lima belas miliar tahun yang lalu. Bagaimanapun, Big Bang terjadi bukan tanpa tujuan. Big Bang bukanlah sebuah proses kebetulan. Dalam Maya, Gaarder seolah-olah ingin bermain-main dengan ide gila dan ganjil ini lewat penggambaran tokoh Ana yang entah bagaimana sangat mirip dengan model lukisan terkenal Francisco de Goya yang berjudul La Maja Desnuda (Maya Telanjang) dan La Maja Vestida (Maya yang Berpakaian). Siapakah sebenarnya Ana, yang memiliki nama lengkap Ana Maria Maya, dan siapakah Maja dalam lukisan Goya dan apa hubungan di antara keduanya. Apakah sebuah kebetulan bahwa hubungan antara Goya dan Maya sama seperti hubungan antara Gaia (bumi yang hidup) dan Maya (ilusi, pandangan dunia dalam masyarakat India)?
4. Misteri Soliter. Jostein Gaarder dalam novel ini kembali mempertunjukkan kejenialannya. Menurut sejumlah komentar ia mencapai tingkat puncak dengan berhasil memadukan fantasi, mitologi, filsafat, juga pendidikan. Misteri Soliter mengisahkan tentang Hans Thomas –seorang bocah lelaki berumur 12 tahun yang cerdas dan penuh rasa ingin tahu- melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Yunani untuk mencari ibunya. Ayahnya pemabuk tapi jenius; dia memancing Hans Thomas dengan pertanyaan-pertanyaan kritis dan berkisah tentang hal-hal aneh.
Dalam perjalanan itu serangkaian kejadian luar biasa terjadi: seorang lelaki kerdil memberi Hans Thomas sebuah kaca pembesar, seorang tukan roti tua memberinya kue dan buku mungil yang berkisah tentang seorang pelaut yang terdampar di pulau terpencil. Di pulau antah-berantah berpenghuni seperangkat kartu remi bernyawa itu berkelindan teka-teki permainan soliter yang menjalin sejarah panjang sebuah keluarga selama tiga generasi, sebuah permainan yang membuktika adanya hubungan kausalitas sekaligus menohok kita dengan pertanyaan mendasar tentang causa prima: Apakah Tuhan ada?
5. Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng. Novel ini akan mempertemukan kita dengan Petter “si Laba-Laba”, tokoh ciptaan Gaarder yang paling membuat penasaran setelah Sophie dari Dunia Sophie. Sejak kecil, Petter tak berkawan dan lebih suka menyendiri di dalam dunia yang dia ciptakan. Dia terobsesi dengan cerita-cerita. Hingga dewasapun, imajinasinya terus merajalela. Tetapi, dia tidak mau mempublikasikan cerita-cerita yang dia tulis atas namanya. Dia membenci ketenaran. Dia memilih menciptakan Writer’s Aid, sebuah program yang didesain untuk menyediakan cerita-cerita bagi pengarang-pengarang internasional yang mengalami kebuntuan ide.
Meskipun programnya ini pada awalnya sangat sukses, segera terbukti bahwa Petter si Laba-Laba akhirnya terjebak dalam jejaring yang ditenunnya sendiri. Skandal memalukan dalam dunia sastra internasional itu perlahan-lahan terkuak dan nyawa Petter terancam oleh pengarang-pengarang besar yang ingin menyelamatkan nama baik mereka. Tak disangka-sangka, kehancuran rencana Petter itu bersumber dari perbuatannya sendiri pada masa lalu.
6. Vite Brevis. Dalam Vita Brevis pembaca diajak berspekulasi apakah surat panjang Floria Aemelia otentik. Bila dalam Vita Brevis subjek khususnya adalah teologi, apa jadinya bila seorang santo (orang suci) yang sudah begitu terkemuka, berwibawa sebagai pemikir agama, pemikirannya luas dan mendalam, sangat berpengaruh dalam peradaban Eropa dan Kristen, ternyata memiliki masa lalu yang mampu memicu kontroversi, bahkan sebuah gugatan? Ini terjadi pada Santo Agustinus, yang digugat Floria Aemelia, yang di suatu masa adalah kekasihnya, dan melahirkan buah hati bernama Adeodatus. Jostein Gaarder menemukan manuskrip surat Floria di sebuah toko buku di Argentina. Awalnya dia ragu akan autentitasnya, namun setelah diperiksa, dia yakin bahwa manuskrip itu asli. Isinya mengejutkan: Floria menggugat sejumlah pandangan Santo Agustinus yang ditulisnya dalam The Confessions. Bukan saja pandangan pribadi yang dia serang, melainkan meluas pada persoalan iman, Tuhan, suara feminisme, kesetaraan gender, semangat zaman, dan terutama tentang makna hubungan cinta dan personal mereka. Agustinus beranggapan kisah cinta mereka adalah 'hidup lama' yang bisa membuatnya 'jatuh', sementara Floria meyakinkan bahwa hubungan itu memiliki aspek Ilahi dan cinta yang sangat besar, bukan disatukan oleh nafsu sebagaimana prasangka Agustinus. Surat panjang Floria itu ditampilkan utuh, sedangkan Gaarder menambahinya dengan catatan yang cukup komprehensif, baik rujukan dari The Confessions, Al-Kitab, keterangan tentang mitologi dan manuskrip sejenis dari zaman Klasik.
Buku ini dengan sendirinya sangat unik, bahkan apabila memperhatikan ide penerbitannya. Di dalamnya pembaca bukan saja akan terbawa emosi kasih sayang sejati seorang wanita kepada pria, melainkan juga merasakan pergulatan terhadap iman dan takdir hidup. Buku ini pasti akan menarik perhatian para pembaca karya Gaarder, juga para peminat studi sejarah, filsafat, teologi, mereka yang pikirannya terbuka, bersedia menerima pluralitas, atau penasaran dengan misteri kehidupan santo agung tersebut. Sebuah buku yang akan menyingkap sisi sejarah yang nyaris tertutup selamanya, tak pernah diselusuri oleh orang paling berani sekalipun!
7. Gadis Jeruk. dalam Gadis Jeruk dikisahkan Georg diberi surat yang disembunyikan ayahnya sebelas tahun lalu di kotak kereta dorong, persis prakiraan bahwa dia akan membacanya di usia remaja. Surat itu terutama berisi kisah cintanya pada ‘Gadis Jeruk’ ditambah pertanyaan yang tampaknya terlalu maju bagi remaja paling cerdas sekalipun, misalnya “Apakah waktu itu?”, “Adakah kehidupan setelah kehidupan ini?”, belum lagi sentilan tentang kesempatan, takdir, dan kerasnya pilihan hidup. Dia mengulang tema serupa dengan teknik kurang inovatif, tapi khas, yakni lantas menggunakan argumen dan penelusuran dengan persuasi memikat. kali ini yang dia ketengahkan adalah astronomi. ‘Waktu’ sendiri merupakan subjek yang sangat menantang bagi semua pemikir, baik dari kalangan filsafat, agamawan, maupun fisikawan. Sekali lagi, disadari atau tidak, tampaknya Gaarder hendak meneruskan eksplorasi atas ‘waktu’ maupun adagium ‘hidup itu singkat’ yang pernah diinisiasi St. Agustinus dalam The Confessions. Di luar itu bagi pembaca Indonesia setting Gadis Jeruk pasti menarik, sebab mengetengahkan kota Oslo, Norwegia dengan detail cukup lengkap, dibubuhi budaya dan kehidupan sosialnya. Terbitnya Gadis Jeruk membuktikan bahwa Gaarder tak perlu mabuk oleh keberhasilan sebuah buku yang tampaknya memang mustahil akan pernah terulang lagi. Dia terus menajamkan pena, mengasah nalar, mengajarkan kebajikan, belajar menghayati kehidupan. Katanya, “Cerita adalah bahasa ibu kita. Otak diciptakan untuk cerita, lebih dari sekadar itu diciptakan untuk menyimpan informasi. Guru yang baik adalah seorang pencerita yang bagus, dan saya melakukan kedua-duanya.” Tak bisa disangkal dia bahkan melakukannya dengan istimewa. Bagaimanapun dipandang buku ini tetap istimewa dan harus diperlakukan dengan adil.
Melalui bentuk karya fiksi, permasalahan-permasalahan filsafati menjadi begitu ringan dan cair untuk dipahami. Bersentuhan dengan karya-karya mereka, kita memperoleh semacam kepuasan dan keterpenuhan tersendiri. Kita dipaksa untuk menengok ke dalam diri sendiri dan menyelidiki sikap-sikap serta kemampuan-kemampuan yang sebelumnya mungkin tidak pernah kita bayangkan. Sekaligus merupakan suatu proses yang mendorong terjadinya internalisasi, yang akan menjadi bagian dari diri kita. Dan kiranya tak perlu dijelaskan lagi bahwa pendekatan secara langsung itu akan memberikan hasil setimpal bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin memetik manfaat dari membaca karya-karya seperti ini.