Karya filsafat, dapat
dikelompokkan ke dalam dua jenis, yaitu karya primer dan karya sekunder. Dalam
karya primer filsafat, penulis menyajikan argument-argumen dan
pandangan-pandangan yang orisinal tentang suatu topik tertentu. Dengan alasan
ini, karya primer filsafat juga disebut “karya orisinal” filsafat. Karya primer
bisa dimulai dengan ide sang penulis sendiri ataupun dengan ide orang lain, tetapi
tujuannya adalah untuk mencapai suatu kebenaran berkenaan dengan ide itu. Dalam
karya ini, Anda mungkin tidak hanya menjumpai kata-kata sulit, melainkan juga
kalimat-kalimat yang rumit, yang kadangkala ditulis dalam gaya
bahasa zaman dulu. Memang para filosof sering mengandaikan begitu saja adanya
latar belakang intelektual atau kemampuan membaca dalam diri pembaca. Umumnya
mereka juga berharap bahwa pembaca mereka adalah sesama filosof atau kaum
intelektual. Sedangkan karya sekunder kadang-kadang disebut juga dengan
“komentar”, berfungsi sebagai tuntunan untuk mengkaji karya primer. Isinya
dapat berupa pemaparan pandangan para filosof, dapat juga mencakup
pertanyaan-pertanyaan relevan mengenai detail historis, bisa berkenaan dengan
persoalan interpretasi, atau dapat juga berusaha menjawab atau mengkritisi
pernyataan yang disampaikan oleh para filosof atau kritikus lain.
Sebagian para filosof yang
sekaligus sebagai sastrawan selain menulis karya-karya primer juga menulis
karya sekunder dalam bentuk novel filsafat. Novel tersebut biasanya berisi
tentang pemikiran-pemikiran filosofis mereka yang dituangkan melalui
karakter-karakter imajinatif. Sebagai contoh, saya ambil beberapa novel
filsafat yang berhasil saya temukan di toko-toko buku dalam beberapa bulan
terakhir ini.
1. Candide: Optimisme dalam Hidup,
karya Voltaire.
Dalam karya satir yang cemerlang ini,
Voltaire habis-habisan menentang arus gagasan pada masanya bahwa semuanya
terjadi untuk maksud terbaik, di dunia yang diciptakan dalam bentuk terbaik,
yang paling mungkin. Serangan tajam dari Voltaire atas filsafatisasi sia-sia
dan khayali pada masanya dan menjadi kontroversi pada saat publikasi pertamanya
pada tahun 1759 yang pada waktu itu dikenal sebagai masa Pencerahan. Ia diingat
pada zaman ini terutama karena serangannya terhadap optimisme filosofis,
khususnya pernyataan Leibniz bahwa dunia ini adalah “dunia yang terbaik yang
mungkin ada”. Dalam novel ini Voltaire juga menyerang dan melecehkan gereja
Katolik, hierarki, doktrin-doktrin Kristen, fanatisme, serta kampanyenya yang
menuntut reformasi social dan yuridis. Sebagai seorang deis, ia membela adanya
Allah dengan membandingkan dunia dengan arloji: karena arloji dibuat oleh
seseorang dengan tujuan tertentu, maka kita harus menyimpulkan bahwa dunia ini
pun begitu juga. Ia mempercayai adanya rahmat yang umum (general providence),
dan menekankan bahwa doa tidak dapat mengubah hukum alam yang abadi, juga tidak
dapat menolak derita.
2. The Outsider, karya Albert Camus.
Sebuah karya roman yang mencengangkan. Gaya
bercerita yang memikat, impresi yang ditampilkan begitu memikat. Penulisan
roman ini, pada dasarnya netral dan putih, menjadi bagian dari sebuah kejadian
lampau, dan memberi kesan tersendiri pada setiap kalimat. Gaya
penulisan seperti ini menambahkan kesan kesendirian sang karakter dalam
menghadapi keseharian (dunia) dan dirinya sendiri. The Outsider sebagai kisah
seorang pria tanpa pretensi heroik, rela mati demi kebenaran. Dalam karyanya
ini Camus berusaha menggambarkan bahwa alam raya ini angkuh dan tak peduli
terhadap keprihatinan dan nilai-nilai manusia. Ia menyatakan pentingnya
mempertahankan pertentangan antara dunia yang tanpa makna ini dengan tuntutan
manusia akan makna yang tak terpuaskan. Pertentangan ini dinamakannya “yang
absurd”, dan ia menantang: adakah kegiatan lain, selain pemberontakan atau
revolusi, yang gagal mempertahankan agar “yang absurd” itu tetap hidup? Ia
menolak bunuh diri dan lompatan iman yang mempostulatkan adanya makna, padahal
sebenarnya tidak ada makna.
3. Kata-Kata, karya Jean-Paul Sartre.
Dalam karya-karyanya, Sartre dikenal sebagai
orang yang mempopulerkan eksistensialisme melalui tulisan, drama, novel dan
cerpen yang dibuatnya. Ia menyangkal adanya suatu “hakikat” manusia yang ada
mendahului pilihan individual. Individu-individu menciptakan hakikat mereka
sendiri melalui pilihan dan tindakan bebas mereka. Eksistensi mendahului
esensi. Sartre menunjukkan bagaimana orang mencoba menyembunyikan dari dirinya
sendiri kebebasan dan tanggung jawab dengan mengikuti paham determinisme atau
teori-teori esensialis seperti anti- Semitisme atau melalui keterlibatan dalam
bentuk-bentuk penipuan diri.
Menjelang usia lanjut, filosof Perancis yang
paling berpengaruh pada abad ke-20 ini menyoroti masa kanak-kanaknya demi
mencari asal-usul bakatnya sebagai pakar Kata-Kata. Analisa yang amat tajam
–nyaris kejam- ini bukan luapan kerinduan. “Aku membenci masa kecilku dan
segala yang tersisa dari periode itu,” tulisnya.
Melalui kisah seorang anak kalangan borjuis
di Paris selama tahun-tahun menjelang Perang Dunia Pertama, Sartre melukiskan
juga suatu golongan masyarakat Perancis tertentu. Buku memoir yang lain dari
yang lain ini dilengkapi dengan sebuah album foto sebagai ilustrasi
rujukan-rujukan budaya yang merupakan warisan intelektual Sartre.
3. The Alchemist, Karya Paulo Coelho.
"Mengapa kita harus mendengarkan suara
hati kita?" tanya si anak, ketika mereka mendirikan tenda pada hari itu.
"Sebab, di mana hatimu berada, di situlah hartamu berada."
Demikian selintas percakapan antara sang
Alkemis dan Santiago,
anak gembala yang mengikuti suara hatinya dan berkelana mengejar mimpinya.
Perjalanan tersebut membawanya ke Tangier serta padang
gurun Mesir, dan di sanalah dia bertemu sang alkemis yang menuntunnya menuju
harta karunnya, serta mengajarinya tentang Jiwa Dunia, cinta, kesabaran, dan
kegigihan.
Perjalanan itu pulalah yang membawanya
menemukan cinta sejatinya: Fatima,
gadis gurun yang setia menanti kepulangannya.
Sang Alkemis telah menjadi salah satu buku
yang paling banyak dibaca di dunia. Kisah sederhana yang indah dan menjadi
sumber inspirasi bagi banyak orang.
Selain novel-novel di atas, bisa juga kita
nikmati kelezatan novel-novel karya Jostein Gaarder. Keistimewaan Jostein
Gaarder adalah ia dapat membuat suatu cerita berdasarkan filsafat dengan gaya
populer. Ciri khas dari isi buku Jostein Gaarder tak lain kerap kali membawa
& mengajak pembacanya untuk berfikir. Tanya dan pertanyaan seakan
membanjiri alur cerita. Kecintaannya akan filsafat menambah bobot kualitas buku
yang mana didukung pula oleh kepiawaiannya dalam bercerita sengan sentuhan
sastra. Kalimat cerdas bertebaran di berbagai halaman, berebutan untuk
memberikan kita pemikiran baru tentang kehidupan. Untuk lebih jelasnya mari
kita simak karya-karyanya berikut ini.
1. Dunia Sophie. Novel
ini bercerita tentang Sophie, seorang pelajar sekolah menengah, mendapat sebuah
surat
misterius yang hanya berisikan satu pertanyaan: “Siapa kamu?” Belum habis
keheranannya, pada hari yang sama, dia mendapat surat
lain yang bertanya: “Dari manakah datangnya dunia?” Seakan tersentak dari
rutinitas hidup sehari-hari, surat-surat itu membuat Sophie mulai
mempertanyakan soal-soal mendasar yang tak pernah dipikirkannya selama ini.
Sophie mulai belajar filsafat.
2. Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken.
Dua saudara sepupu, Berit dan Nils, tinggal di kota
yang berbeda. Untuk berhubungan, kedua remaja ini membuat sebuah buku-surat
yang mereka tulisi dan saling kirimkan di antara mereka. Anehnya, ada seorang
wanita misterius, Bibbi Bokken, yang mengincar buku-surat itu. Bersama
komplotannya, tampaknya Bibbi menjalankan sebuah rencana rahasia atas diri
Berit dan Nils. Rencana itu berhubungan dengan sebuah perpustakaan ajaib dan
konspirasi dalam dunia perbukuan. Berit dan Nils tidak gentar, bahkan bertekad
mengungkap misteri ini dan menemukan Perpustakaan Ajaib Bibbi Bokken. Dalam
petualangan keduanya, kita akan mendapatkan banyak pengetahuan tentang dunia
perbukuan.
3. Maya: Misteri Dunia dan Cinta.
“Diperlukan waktu bermiliar-miliar tahun untuk menciptakan seorang manusia. Dan
diperlukan hanya beberapa detik untuk mati”, demikianlah kata-kata bijak yang
terdapat dalam novel ini. Novel ini menyoroti gagasan-gagasan besar: penciptaan
alam semesta. Evolusi kehidupan di atas bumi, munculnya manusia, dan tujuan
dari keberadaan manusia. Jostein Gaarder, dalam novelnya yang berjudul Maya,
hendak merangkum proses panjang evolusi manusia menuju munculnya kesadaran
manusia lewat dialog-dialog cerdas para tokohnya. Tak hanya itu, ia dengan
piawai memadukan kisah cinta, dongeng, misteri, filsafat, pengetahuan ilmiah,
seni dan sejarah serta spiritualitas menjadi satu jalinan kisah yang kompleks
tapi memikat. Dalam logika umum, masa lalu dan masa kini adalah rangkaian sebab
akibat yang berjalan searah; masa lalu menjadi sebab terjadinya peristiwa di
masa mendatang, bukan sebaliknya. Tetapi, di tangan Jostein Gaarder, peristiwa
di masa kini atau masa mendatang bisa menjadi sebab bagi terjadinya peristiwa
di masa lalu. Tepuk tangan bagi Big Bang baru terdengar lima
belas miliar tahun setelah ledakan itu terjadi. Apakah Big Bang yang menjadi
sebab manusia bertepuk tangan untuknya lima
belas miliar tahun kemudian, ataukah tepuk tangan manusia di masa kini lah yang
menjadi sebab terjadinya Big Bang lima
belas miliar tahun yang lalu. Bagaimanapun, Big Bang terjadi bukan tanpa
tujuan. Big Bang bukanlah sebuah proses kebetulan. Dalam Maya, Gaarder seolah-olah
ingin bermain-main dengan ide gila dan ganjil ini lewat penggambaran tokoh Ana
yang entah bagaimana sangat mirip dengan model lukisan terkenal Francisco de
Goya yang berjudul La Maja Desnuda (Maya Telanjang) dan La Maja Vestida (Maya
yang Berpakaian). Siapakah sebenarnya Ana, yang memiliki nama lengkap Ana Maria
Maya, dan siapakah Maja dalam lukisan Goya dan apa hubungan di antara keduanya.
Apakah sebuah kebetulan bahwa hubungan antara Goya dan Maya sama seperti
hubungan antara Gaia (bumi yang hidup) dan Maya (ilusi, pandangan dunia dalam
masyarakat India)?
4. Misteri Soliter. Jostein Gaarder
dalam novel ini kembali mempertunjukkan kejenialannya. Menurut sejumlah
komentar ia mencapai tingkat puncak dengan berhasil memadukan fantasi,
mitologi, filsafat, juga pendidikan. Misteri Soliter mengisahkan tentang Hans
Thomas –seorang bocah lelaki berumur 12 tahun yang cerdas dan penuh rasa ingin
tahu- melakukan perjalanan bersama ayahnya ke Yunani untuk mencari ibunya.
Ayahnya pemabuk tapi jenius; dia memancing Hans Thomas dengan
pertanyaan-pertanyaan kritis dan berkisah tentang hal-hal aneh.
Dalam perjalanan itu serangkaian kejadian
luar biasa terjadi: seorang lelaki kerdil memberi Hans Thomas sebuah kaca
pembesar, seorang tukan roti tua memberinya kue dan buku mungil yang berkisah
tentang seorang pelaut yang terdampar di pulau terpencil. Di pulau
antah-berantah berpenghuni seperangkat kartu remi bernyawa itu berkelindan
teka-teki permainan soliter yang menjalin sejarah panjang sebuah keluarga
selama tiga generasi, sebuah permainan yang membuktika adanya hubungan
kausalitas sekaligus menohok kita dengan pertanyaan mendasar tentang causa
prima: Apakah Tuhan ada?
5. Putri Sirkus dan Lelaki Penjual Dongeng.
Novel ini akan mempertemukan kita dengan Petter “si Laba-Laba”, tokoh ciptaan
Gaarder yang paling membuat penasaran setelah Sophie dari Dunia Sophie. Sejak
kecil, Petter tak berkawan dan lebih suka menyendiri di dalam dunia yang dia
ciptakan. Dia terobsesi dengan cerita-cerita. Hingga dewasapun, imajinasinya terus
merajalela. Tetapi, dia tidak mau mempublikasikan cerita-cerita yang dia tulis
atas namanya. Dia membenci ketenaran. Dia memilih menciptakan Writer’s Aid,
sebuah program yang didesain untuk menyediakan cerita-cerita bagi
pengarang-pengarang internasional yang mengalami kebuntuan ide.
Meskipun programnya ini pada awalnya sangat
sukses, segera terbukti bahwa Petter si Laba-Laba akhirnya terjebak dalam
jejaring yang ditenunnya sendiri. Skandal memalukan dalam dunia sastra
internasional itu perlahan-lahan terkuak dan nyawa Petter terancam oleh
pengarang-pengarang besar yang ingin menyelamatkan nama baik mereka. Tak
disangka-sangka, kehancuran rencana Petter itu bersumber dari perbuatannya
sendiri pada masa lalu.
6. Vite Brevis. Dalam Vita Brevis
pembaca diajak berspekulasi apakah surat
panjang Floria Aemelia otentik. Bila dalam Vita Brevis subjek khususnya adalah
teologi, apa jadinya bila seorang santo (orang suci) yang sudah begitu
terkemuka, berwibawa sebagai pemikir agama, pemikirannya luas dan mendalam, sangat
berpengaruh dalam peradaban Eropa dan Kristen, ternyata memiliki masa lalu yang
mampu memicu kontroversi, bahkan sebuah gugatan? Ini terjadi pada Santo
Agustinus, yang digugat Floria Aemelia, yang di suatu masa adalah kekasihnya,
dan melahirkan buah hati bernama Adeodatus. Jostein Gaarder menemukan manuskrip
surat
Floria di sebuah toko buku di Argentina. Awalnya dia ragu akan autentitasnya,
namun setelah diperiksa, dia yakin bahwa manuskrip itu asli. Isinya
mengejutkan: Floria menggugat sejumlah pandangan Santo Agustinus yang
ditulisnya dalam The Confessions. Bukan saja pandangan pribadi yang dia serang,
melainkan meluas pada persoalan iman, Tuhan, suara feminisme, kesetaraan
gender, semangat zaman, dan terutama tentang makna hubungan cinta dan personal
mereka. Agustinus beranggapan kisah cinta mereka adalah 'hidup lama' yang bisa
membuatnya 'jatuh', sementara Floria meyakinkan bahwa hubungan itu memiliki
aspek Ilahi dan cinta yang sangat besar, bukan disatukan oleh nafsu sebagaimana
prasangka Agustinus. Surat panjang Floria itu ditampilkan utuh, sedangkan
Gaarder menambahinya dengan catatan yang cukup komprehensif, baik rujukan dari
The Confessions, Al-Kitab, keterangan tentang mitologi dan manuskrip sejenis
dari zaman Klasik.
Buku ini dengan sendirinya sangat unik,
bahkan apabila memperhatikan ide penerbitannya. Di dalamnya pembaca bukan saja
akan terbawa emosi kasih sayang sejati seorang wanita kepada pria, melainkan
juga merasakan pergulatan terhadap iman dan takdir hidup. Buku ini pasti akan
menarik perhatian para pembaca karya Gaarder, juga para peminat studi sejarah,
filsafat, teologi, mereka yang pikirannya terbuka, bersedia menerima
pluralitas, atau penasaran dengan misteri kehidupan santo agung tersebut.
Sebuah buku yang akan menyingkap sisi sejarah yang nyaris tertutup selamanya,
tak pernah diselusuri oleh orang paling berani sekalipun!
7. Gadis Jeruk. dalam Gadis Jeruk
dikisahkan Georg diberi surat
yang disembunyikan ayahnya sebelas tahun lalu di kotak kereta dorong, persis
prakiraan bahwa dia akan membacanya di usia remaja. Surat itu terutama berisi
kisah cintanya pada ‘Gadis Jeruk’ ditambah pertanyaan yang tampaknya terlalu
maju bagi remaja paling cerdas sekalipun, misalnya “Apakah waktu itu?”, “Adakah
kehidupan setelah kehidupan ini?”, belum lagi sentilan tentang kesempatan,
takdir, dan kerasnya pilihan hidup. Dia mengulang tema serupa dengan teknik
kurang inovatif, tapi khas, yakni lantas menggunakan argumen dan penelusuran
dengan persuasi memikat. kali ini yang dia ketengahkan adalah astronomi.
‘Waktu’ sendiri merupakan subjek yang sangat menantang bagi semua pemikir, baik
dari kalangan filsafat, agamawan, maupun fisikawan. Sekali lagi, disadari atau
tidak, tampaknya Gaarder hendak meneruskan eksplorasi atas ‘waktu’ maupun
adagium ‘hidup itu singkat’ yang pernah diinisiasi St. Agustinus dalam The
Confessions. Di luar itu bagi pembaca Indonesia
setting Gadis Jeruk pasti menarik, sebab mengetengahkan kota
Oslo,
Norwegia dengan detail cukup lengkap, dibubuhi budaya dan kehidupan sosialnya.
Terbitnya Gadis Jeruk membuktikan bahwa Gaarder tak perlu mabuk oleh
keberhasilan sebuah buku yang tampaknya memang mustahil akan pernah terulang
lagi. Dia terus menajamkan pena, mengasah nalar, mengajarkan kebajikan, belajar
menghayati kehidupan. Katanya, “Cerita adalah bahasa ibu kita. Otak diciptakan
untuk cerita, lebih dari sekadar itu diciptakan untuk menyimpan informasi. Guru
yang baik adalah seorang pencerita yang bagus, dan saya melakukan
kedua-duanya.” Tak bisa disangkal dia bahkan melakukannya dengan istimewa.
Bagaimanapun dipandang buku ini tetap istimewa dan harus diperlakukan dengan
adil.
Melalui bentuk karya fiksi,
permasalahan-permasalahan filsafati menjadi begitu ringan dan cair untuk
dipahami. Bersentuhan dengan karya-karya mereka, kita memperoleh semacam
kepuasan dan keterpenuhan tersendiri. Kita dipaksa untuk menengok ke dalam diri
sendiri dan menyelidiki sikap-sikap serta kemampuan-kemampuan yang sebelumnya
mungkin tidak pernah kita bayangkan. Sekaligus merupakan suatu proses yang
mendorong terjadinya internalisasi, yang akan menjadi bagian dari diri kita.
Dan kiranya tak perlu dijelaskan lagi bahwa pendekatan secara langsung itu akan
memberikan hasil setimpal bagi mereka yang sungguh-sungguh ingin memetik
manfaat dari membaca karya-karya seperti ini.