Saya intensif mengkaji kitab ini sekitar tahun 1992-1993 dari
sosok kyai yang sabar dan pendiam, yaitu KH Alimuddin (alm.) dari desa Ganjar kecamatan Godanglegi kabupaten Malang. Beliau adalah
santri langsung dari pengarang kitab tersebut sekaligus menantunya. Kitab ini
diitulis oleh KH Ihsan Dahlan atau dikenal dengan KH Ihsan Jampes pada usia 31
tahun. Seorang kyai pengasuh pesantren Jampes di desa Putih kecamatan
Gampingrejo kabupaten Kediri Jawa Timur.
Dikenal sebagai penulis kitab yang produktif KH Ihsan menulis
banyak karya atau kitab dalam bahasa Arab. Di antara karyanya yang sempat
terlacak adalah kitab Siraj al-Talibin (Pelita Para Pencari), Irsyad al-Ikhwan
fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa al-Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok),
Tasyrih al-‘Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijah al-Miqat-nya Kyai Dahlan
Semarang) yang ditulis ketika berumur 29 tahun dan kitab Manahij al-Imdad (syarah
Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari dari India Selatan) setebal
1000 halaman dan baru terbit tahun 2006.
Kitab ini disusun pengarangnya pada tahun 1933 dan
diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 oleh penerbitan dan percetakan ‘An
Nabhaniyah’ milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Ahmad)
di Surabaya bekerja sama dengan sebuah percetakan besar di Kairo Mesir yaitu
penerbit dan percetakan ‘Mustafa al-Babi al-Halabi’ yang terkenal banyak
menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya para ulama abad pertengahan. Kitab
ini kemudian dicetak oleh Dar al-Fikr sebuah percetakan dan penerbitan besar di
Lebanon dan terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid
kedua berisi 554 halaman.
Kitab Siraj al-Thalibin beredar sejak diterbitkan hampir satu
abad lalu di Indonesia dan juga di negara-negara yang penduduknya banyak
memeluk agama Islam. Bahkan di negara-negara non Islam dimana di situ terdapat
jurusan Filsafat, Teosofi dan Islamologi pada perguruan tinggi seperti di
Amerika, Kanada dan Australia kitab tersebut ada. Gus Dur, pertama kali
mengenal kitab ini justru ketika belajar di Baghdad Irak medio tahun 1967-1970.
Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Perancis Gus Dur juga bertemu dengan
beberapa sarjana muslim pengagum al-Ghazali di Eropa Barat tersebut yang memuji
kitab Siraj al-Thalibin ini.
Kitab Siraj al-Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh
masyarakat muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai kadar nilai
akademis yang tinggi sehingga dijadikan buku pegangan wajib untuk kajian
Postgraduate di Al-Azhar University Kairo Mesir. Barangkali karena itulah raja
Faruq yang sedang berkuasa di Mesir pernah mengirim utusan ke Jampes untuk
menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di
Al-Azhar University. Akan tetapi Kyai Ihsan kemudian menolak dan lebih memilih
mengajar santrinya di pesantren. Siraj al-Thalibin merupakan kitab tasawuf
syarah dari kitab yang berjudul Minhaj al-‘Abidin karya Imam al-Ghazali seorang
ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat pada tahun 1111 M.
Dalam menyusun kitab ini Kyai Ihsan memiliki kematangan gaya
berbahasa, kejernihan daya ungkap, kecepatan dalam mengomunikasikan pernyataan
ulama terdahulu dan memosisikan pernyataannya di tengah-tengah ulama yang
berseberangan. Dan menariknya, ketika menjelaskan madzhab-madzhab di kalangan
ahli bahasa dan penggunaan lafadz-lafadz tertentu di dalam suku-suku Arab,
seolah-olah Kyai Ihsan pernah mukim begitu lama di tanah Arab dan ikut
bercengkerama bersama mereka.
Satu point yang cukup menarik, tidak seperti lazimnya kitab
syarah yang hanya memperlebar bahasan dan memberi komentar, Kyai Ihsan dengan
kitab Siraj al-Thalibin-nya tidak kehilangan identitas sebagai mu`allif
(pengarang). Di dalam kitab ini, Kyai Ihsan telah mengumpulkan ilmu-ilmu
pengetahuan yang menyeluruh baik dalam bidang tafsir, hadits, semantik,
sejarah, maupun riwayat-riwayat para ulama dan sahabat. Gaya tulisannya dalam
bahasa Arab cukup kuat dan dalam sehingga menjadi ciri khas dari sosok Kyai
Ihsan sendiri. Saya sendiri membuktikan ‘kesulitan’nya, khususnya pada masalah
ruju’ dhamirnya. Jadi, ketika mengkaji kitab ini seyogyanya memang ada
pembimbingnya.
Wallahu
a’lam..
Tidak ada komentar:
Posting Komentar