Kamis, 06 April 2017

KITAB SIRAJ AL-THALIBIN



Saya intensif mengkaji kitab ini sekitar tahun 1992-1993 dari sosok kyai yang sabar dan pendiam, yaitu KH Alimuddin (alm.) dari desa Ganjar kecamatan Godanglegi kabupaten Malang. Beliau adalah santri langsung dari pengarang kitab tersebut sekaligus menantunya. Kitab ini diitulis oleh KH Ihsan Dahlan atau dikenal dengan KH Ihsan Jampes pada usia 31 tahun. Seorang kyai pengasuh pesantren Jampes di desa Putih kecamatan Gampingrejo kabupaten Kediri Jawa Timur.
Dikenal sebagai penulis kitab yang produktif KH Ihsan menulis banyak karya atau kitab dalam bahasa Arab. Di antara karyanya yang sempat terlacak adalah kitab Siraj al-Talibin (Pelita Para Pencari), Irsyad al-Ikhwan fi Bayan Hukmi al-Qahwah wa al-Dukhan (Sebuah Risalah Tentang Kopi dan Rokok), Tasyrih al-‘Ibarat (Kitab Falak Syarah Natijah al-Miqat-nya Kyai Dahlan Semarang) yang ditulis ketika berumur 29 tahun dan kitab Manahij al-Imdad (syarah Irsyad al-‘Ibad karya Syaikh Zainudin al-Malibari dari India Selatan) setebal 1000 halaman dan baru terbit tahun 2006.
Kitab ini disusun pengarangnya pada tahun 1933 dan diterbitkan pertama kali pada tahun 1936 oleh penerbitan dan percetakan ‘An Nabhaniyah’ milik Salim bersaudara (Syekh Salim bin Sa’ad dan saudaranya Ahmad) di Surabaya bekerja sama dengan sebuah percetakan besar di Kairo Mesir yaitu penerbit dan percetakan ‘Mustafa al-Babi al-Halabi’ yang terkenal banyak menerbitkan buku-buku ilmu agama Islam karya para ulama abad pertengahan. Kitab ini kemudian dicetak oleh Dar al-Fikr sebuah percetakan dan penerbitan besar di Lebanon dan terdiri dari dua jilid. Jilid pertama berisi 544 halaman dan jilid kedua berisi 554 halaman.
Kitab Siraj al-Thalibin beredar sejak diterbitkan hampir satu abad lalu di Indonesia dan juga di negara-negara yang penduduknya banyak memeluk agama Islam. Bahkan di negara-negara non Islam dimana di situ terdapat jurusan Filsafat, Teosofi dan Islamologi pada perguruan tinggi seperti di Amerika, Kanada dan Australia kitab tersebut ada. Gus Dur, pertama kali mengenal kitab ini justru ketika belajar di Baghdad Irak medio tahun 1967-1970. Pada sebuah kesempatan berkunjung ke Perancis Gus Dur juga bertemu dengan beberapa sarjana muslim pengagum al-Ghazali di Eropa Barat tersebut yang memuji kitab Siraj al-Thalibin ini.
Kitab Siraj al-Thalibin dipelajari dan ditekuni oleh masyarakat muslim di seluruh dunia lantaran kitab ini mempunyai kadar nilai akademis yang tinggi sehingga dijadikan buku pegangan wajib untuk kajian Postgraduate di Al-Azhar University Kairo Mesir. Barangkali karena itulah raja Faruq yang sedang berkuasa di Mesir pernah mengirim utusan ke Jampes untuk menyampaikan keinginannya agar KH Ihsan bersedia diperbantukan mengajar di Al-Azhar University. Akan tetapi Kyai Ihsan kemudian menolak dan lebih memilih mengajar santrinya di pesantren. Siraj al-Thalibin merupakan kitab tasawuf syarah dari kitab yang berjudul Minhaj al-‘Abidin karya Imam al-Ghazali seorang ulama dan filosof besar di masa abad pertengahan yang wafat pada tahun 1111 M.
Dalam menyusun kitab ini Kyai Ihsan memiliki kematangan gaya berbahasa, kejernihan daya ungkap, kecepatan dalam mengomunikasikan pernyataan ulama terdahulu dan memosisikan pernyataannya di tengah-tengah ulama yang berseberangan. Dan menariknya, ketika menjelaskan madzhab-madzhab di kalangan ahli bahasa dan penggunaan lafadz-lafadz tertentu di dalam suku-suku Arab, seolah-olah Kyai Ihsan pernah mukim begitu lama di tanah Arab dan ikut bercengkerama bersama mereka.
Satu point yang cukup menarik, tidak seperti lazimnya kitab syarah yang hanya memperlebar bahasan dan memberi komentar, Kyai Ihsan dengan kitab Siraj al-Thalibin-nya tidak kehilangan identitas sebagai mu`allif (pengarang). Di dalam kitab ini, Kyai Ihsan telah mengumpulkan ilmu-ilmu pengetahuan yang menyeluruh baik dalam bidang tafsir, hadits, semantik, sejarah, maupun riwayat-riwayat para ulama dan sahabat. Gaya tulisannya dalam bahasa Arab cukup kuat dan dalam sehingga menjadi ciri khas dari sosok Kyai Ihsan sendiri. Saya sendiri membuktikan ‘kesulitan’nya, khususnya pada masalah ruju’ dhamirnya. Jadi, ketika mengkaji kitab ini seyogyanya memang ada pembimbingnya.
Wallahu a’lam..

Tidak ada komentar: