Kamis, 10 Oktober 2013

FILOSOFI SYARI'AH

Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mendinamiskan pemikiran dan merekayasa perilaku masyarakat dalam rangka mencapai cita-citanya. Selain itu, untuk mengembangkan pemikiran dan studi hukum Islam dalam kehidupan masyarakat pada masa yang akan datang, di samping studi normatif selama ini, sudah saatnya dan sangat urgen bagi para pakar hukum Islam untuk mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka perubahan sosial atau pendekatan sosio-historis.

Hubungan antara teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu masalah pokok filsafat hukum. Hukum yang diasumsikan tidak mengalami perubahan ternyata senantiasa menghadapi tantangan berupa perubahan sosial yang menuntut daya suai (adaptability) dari hukum. Seringkali dampak perubahan sosial itu begitu hebat sehingga mempengaruhi konsep-konsep serta pranata-pranata hukum dan dengan demikian memunculkan kebutuhan baru akan sebuah filsafat hukum.

Demikian juga masalah perubahan sosial dan teori hukum, posisinya sangat penting dalam pembahasan filsafat hukum Islam. Hukum Islam yang selama ini dipandang rigid, religius, sakral dan karenanya dianggap abadi bagaimana mungkin bisa menghadapi tantangan perubahan di tengah-tengah masyarakat yang plural, multikultur dan multi etnis seperti kasus Indonesia kalau tidak memasukkan kajian tentang kedua hal tersebut?

Pemikiran itulah yang mengantarkan saya mengenal sebuah buku yang berjudul al-Muwāfaqāt pada tahun 1998. Al-Muwāfaqāt, disamping al-I’tisām, adalah karya monumental dari al-Shātibī (Abū Ishaq al-Shātibī). Sebuah buku yang populer dan cukup akrab di kalangan pengkaji dan pembelajar hukum Islam. Ulama sekaliber Shaykh Muhammad ’Abduhpun menganjurkan para intelektual muslim untuk menjadikan Al-Muwāfaqāt sebagai rujukan untuk memperoleh pemahaman mendalam tentang filsafat hukum Islam. Cendekiawan muslim seperti Muhammad Iqbal sering merujuk kepada konsep al-maslahah dalam buku Al-Muwāfaqāt ketika berbicara tentang hukum Islam. Tokoh pergerakan Islam seperti Abū al-A’lā al-Mawdūdī menyatakan bahwa Al-Muwāfaqāt perlu diterjemahkan ke banyak bahasa demi pemahaman yang mendalam tentang filsafat hukum Islam.

al-Shātibī (w. 1388 M) hidup semasa dengan Ibnu Khaldūn (1332-1406 M) dan merupakan saudara seperguruan. Mereka adalah murid Sharīf al-Tilimsānī yang mengajarkan filsafat dan pemikiran-pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rushd di Granada, Spanyol. Kalau Ibnu Khaldūn dikenal sebagai penggagas pertama ilmu Sosiologi sebelum Auguste Comte dan menjadi masyhur karena bukunya yang berjudul al-Muqaddimah, maka al-Shātibī menjadi terkemuka dalam bidang filsafat hukum Islam. Ia dikenal karena pemikiran-pemikiran segarnya tentang maqāsid al-sharī’ah dan konsep al-maslahah dalam kitab Al-Muwāfaqāt.   

Dalam buku yang sangat kental dengan model analisis baru yang belum pernah dilakukan oleh para penulis sebelumnya yaitu corak filosofis-teologis ini al-Shātibī mengkaji lima pokok bahasan, yaitu: (1) al-muqaddimah, (2) al-ahkām, (3) al-maqāsid, (4) al-adillah, dan (5) al-ijtihād. Sebagai karya yang bernuansa filosofis-teologis, Al-Muwāfaqāt tidak mudah dicerna. Kesulitan memahaminya bukan karena gaya bahasa dan susunannya yang ternyata cukup gamblang dan sistematis, namun karena buku tersebut mengandung aspek lain di luar usūl al-fiqh. Menurut Muhammad Khālid Mas’ūd, seorang penulis al-Shātibī dari Pakistan, kita tidak hanya perlu memiliki pengetahuan fikih dan usul fikih untuk memahami kandungan Al-Muwāfaqāt, tetapi juga perlu memiliki pengetahuan di bidang teologi (ilmu kalam), filsafat dan tasawufAl-Muwāfaqāt memang tidak hanya murni mengurai tema-tema usul fikih, dalam artian kaidah dan dalilnya, tetapi juga sarat dengan analisa teologis, filosofis dan tasawuf. Tampaknya, penulis bermaksud mengisi kembali pemikiran hukum Islam yang cenderung bersifat teoretis semata, dengan pemahaman filosofis tentang maqāsid al-sharī’ah.

Sejak ketemu pada pandangan pertama, buku ini cukup menggelitik hati karena isinya lain daripada yang lain. Bersyukur saya pernah mengikuti ulasan buku ini dari satu-satunya pakar al-Shātibī di Indonesia yaitu Dr. H. Satria Effendi (alm.). Bahkan saking terkesannya, saya mengikuti kuliah beliau sampai dua kali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan dan didukung bacaan-bacaan lain yang mengkaji al-Shātibī saya mulai menekuni pemikiran-pemikirannya.

Hal inilah yang akhirnya mendorong saya memilih vak wajib mengajar Filsafat Hukum Islam. Tulisan-tulisan di jurnal, makalah atau bukupun tidak pernah saya lepaskan dari pemikiran-pemikiran al-Shātibī. Bagi saya al-Shātibī merupakan tokoh yang genius dan inspiratif. Sayapun kemudian terinspirasi untuk menulis sebuah buku tentang filsafat hukum Islam . Tapi sayang, finishing naskah buku yang terinspirasi oleh pemikiran-pemikirannya yang saya beri judul ‘Filosofi Syari’ah’ sampai sekarang belum kelar-kelar karena berbagai macam alasan.


(Patokpicis, 10 Oktober 2013).

Tidak ada komentar: