Hukum Islam bukan sekedar norma statis yang mengutamakan kepastian dan
ketertiban, melainkan juga norma-norma yang harus mendinamiskan pemikiran dan
merekayasa perilaku masyarakat dalam rangka mencapai cita-citanya. Selain
itu, untuk mengembangkan pemikiran dan studi hukum Islam dalam kehidupan
masyarakat pada masa yang akan datang, di samping studi normatif selama ini,
sudah saatnya dan sangat urgen bagi para pakar hukum Islam untuk
mempertimbangkan studi dan pemikiran hukum Islam dalam kerangka perubahan
sosial atau pendekatan sosio-historis.
Hubungan antara teori hukum dan perubahan sosial merupakan salah satu
masalah pokok filsafat hukum. Hukum yang diasumsikan tidak mengalami perubahan
ternyata senantiasa menghadapi tantangan berupa perubahan sosial yang menuntut
daya suai (adaptability) dari
hukum. Seringkali dampak perubahan sosial itu begitu hebat sehingga
mempengaruhi konsep-konsep serta pranata-pranata hukum dan dengan demikian
memunculkan kebutuhan baru akan sebuah filsafat hukum.
Demikian
juga masalah perubahan sosial dan teori
hukum, posisinya
sangat penting dalam pembahasan filsafat hukum Islam. Hukum Islam yang selama
ini dipandang rigid, religius, sakral dan karenanya dianggap abadi
bagaimana mungkin bisa menghadapi tantangan perubahan di tengah-tengah
masyarakat yang plural, multikultur dan multi etnis seperti kasus Indonesia kalau tidak memasukkan kajian tentang kedua hal tersebut?
Pemikiran itulah yang mengantarkan saya mengenal sebuah
buku yang berjudul al-Muwāfaqāt pada tahun 1998. Al-Muwāfaqāt,
disamping al-I’tisām, adalah karya monumental dari
al-Shātibī (Abū Ishaq al-Shātibī). Sebuah buku yang populer dan cukup akrab di
kalangan pengkaji dan pembelajar hukum Islam. Ulama sekaliber Shaykh Muhammad
’Abduhpun
menganjurkan para intelektual muslim untuk menjadikan Al-Muwāfaqāt sebagai rujukan untuk memperoleh pemahaman mendalam
tentang filsafat hukum Islam. Cendekiawan muslim seperti Muhammad Iqbal sering
merujuk kepada konsep al-maslahah
dalam buku Al-Muwāfaqāt ketika
berbicara tentang hukum Islam. Tokoh pergerakan Islam seperti Abū al-A’lā
al-Mawdūdī menyatakan bahwa Al-Muwāfaqāt
perlu diterjemahkan ke banyak bahasa demi pemahaman yang mendalam tentang
filsafat hukum Islam.
al-Shātibī (w. 1388 M) hidup semasa dengan Ibnu Khaldūn (1332-1406 M) dan
merupakan saudara seperguruan. Mereka adalah murid Sharīf al-Tilimsānī yang
mengajarkan filsafat dan pemikiran-pemikiran Ibnu Sina dan Ibnu Rushd di
Granada, Spanyol. Kalau Ibnu Khaldūn dikenal sebagai penggagas pertama ilmu Sosiologi
sebelum Auguste Comte dan menjadi masyhur karena bukunya yang berjudul al-Muqaddimah, maka al-Shātibī
menjadi terkemuka dalam bidang filsafat hukum Islam. Ia dikenal karena
pemikiran-pemikiran segarnya tentang maqāsid
al-sharī’ah dan konsep al-maslahah dalam kitab Al-Muwāfaqāt.
Dalam buku yang sangat kental dengan model analisis baru yang belum pernah
dilakukan oleh para penulis sebelumnya yaitu
corak filosofis-teologis ini al-Shātibī mengkaji lima
pokok bahasan, yaitu: (1) al-muqaddimah,
(2) al-ahkām, (3) al-maqāsid, (4) al-adillah, dan (5) al-ijtihād. Sebagai karya yang
bernuansa filosofis-teologis, Al-Muwāfaqāt
tidak mudah dicerna. Kesulitan memahaminya bukan karena gaya bahasa dan
susunannya yang ternyata cukup gamblang dan sistematis, namun karena buku
tersebut mengandung aspek lain di luar usūl
al-fiqh. Menurut Muhammad Khālid Mas’ūd, seorang penulis al-Shātibī dari
Pakistan, kita tidak hanya perlu memiliki pengetahuan fikih dan usul fikih
untuk memahami kandungan Al-Muwāfaqāt,
tetapi juga perlu memiliki pengetahuan di bidang teologi (ilmu kalam),
filsafat dan tasawuf. Al-Muwāfaqāt memang tidak hanya murni
mengurai tema-tema usul fikih, dalam artian kaidah dan dalilnya, tetapi juga
sarat dengan analisa teologis, filosofis dan tasawuf. Tampaknya, penulis
bermaksud mengisi kembali pemikiran hukum Islam yang cenderung bersifat
teoretis semata, dengan pemahaman filosofis tentang maqāsid al-sharī’ah.
Sejak ketemu pada pandangan pertama, buku ini cukup menggelitik hati karena isinya lain
daripada yang lain. Bersyukur saya pernah mengikuti ulasan buku ini dari
satu-satunya pakar al-Shātibī di Indonesia yaitu Dr. H. Satria Effendi (alm.). Bahkan saking terkesannya, saya
mengikuti kuliah beliau sampai dua kali. Dengan kemampuan bahasa Arab yang pas-pasan dan
didukung bacaan-bacaan lain yang mengkaji al-Shātibī saya mulai menekuni
pemikiran-pemikirannya.
Hal
inilah yang akhirnya mendorong saya memilih
vak wajib mengajar Filsafat Hukum Islam. Tulisan-tulisan di jurnal, makalah atau bukupun tidak pernah saya lepaskan
dari pemikiran-pemikiran al-Shātibī. Bagi saya al-Shātibī
merupakan tokoh yang genius dan inspiratif. Sayapun kemudian terinspirasi untuk menulis
sebuah buku tentang filsafat hukum Islam .
Tapi sayang, finishing naskah buku
yang terinspirasi oleh pemikiran-pemikirannya yang saya beri judul ‘Filosofi
Syari’ah’ sampai sekarang belum kelar-kelar karena berbagai macam alasan.
(Patokpicis, 10
Oktober 2013).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar