Di dalam kehidupan,
manusia bijak lebih membutuhkan kebahagiaan daripada kesenangan. Kebahagiaan, menurut para filosof, dapat diperoleh jika
seseorang mampu melakukan pemaknaan terhadap kehidupannya. Pemaknaan bisa
berawal dari pertanyaan-pertanyaan tentang kehidupan yang menuntut jawaban dengan
segera. Kualitas pemaknaan hidup tergantung dari kualitas pertanyaan tersebut, dan jawaban
dari pertanyaan-pertanyaan inilah yang kemudian dapat menuntun seseorang kepada pencerahan.
Pencerahan (al-hidāyah)
menurut al-Jurjānī adalah jalan yang dilalui oleh seseorang yang bersifat unik
dan bisa mengantarkannya sampai pada tujuan. Artinya, seseorang yang mendapat pencerahan adalah seseorang yang
punya kemampuan unik untuk bisa memikirkan hal-hal yang tidak bisa dipikirkan
oleh orang lain, bisa melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh orang lain, bisa
mendengar apa yang tidak bisa didengar oleh orang lain, sekaligus mampu
memahami apa yang tidak bisa dipahami oleh orang lain, yang kesemuanya nanti
akan terwujud dalam bentuk ucapan maupun tulisan.
Berkaitan dengan hal
tersebut, kitab berjudul al-Tabaqāt al-Kubrā (Kisah-kisah Agung) yang
ditulis oleh al-Imām al-Sha’rānī (w. 973 H) ini mengisahkan sosok-sosok yang telah
tercerahkan. Dimana penuturan kisahnya
diurutkan berdasarkan abjad pertama dari nama masing-masing. Dimulai dari
biografi singkat, proses pencapaian pencerahan sampai dengan wujud hasilnya
dalam bentuk ucapan dan karya tulisan yang menginspirasi banyak orang pada
masanya maupun pada masa-masa sesudahnya.
Dengan membaca buku ini, kita atau khususnya saya, yang sering merasa sulit
mendapat pencerahan dalam kehidupan akibat banyak melakukan kesalahan
diharapkan bisa terinspirasi dan terbantu untuk bisa berpikir, melihat,
mendengar dan memahami kehidupan sebagaimana yang mereka lakukan dan berhasil
mendapatkan kebahagiaan. Wallāhu a’lam bi al-sawāb.
(Patokpicis,
27 Oktober 2013)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar