Senin, 21 September 2015

FIQH AL-IKHTILĀF: SEBUAH METODE DALAM MENYIKAPI PERBEDAAN

Akhir-akhir ini banyak kita temui berbagai macam polemik dan topik perdebatan yang ada di media sosial. Tidak jarang perdebatan tersebut diiringi dengan hujatan dan cacian. Wacana penafsiran dianggap sebagai hal yang mutlak kebenarannya. Agamapun, sebagai obyek penafsiran, menjadi lahan yang subur bagi konflik kepentingan yang menyulut perdebatan. Ditambah dengan kehadiran berbagai jenis media sosial memungkinkan semua orang untuk ikut-ikutan nimbrung tanpa memahami akar permasalahan. Mereka tidak memahami apa alasan dan bagaimana metode berpikir yang melatarbelakangi suatu gagasan itu muncul. Tidak bisa memilah dan memilih mana yang ajaran agama, kebudayaan dan mana yang hasil dari kemajuan peradaban.
Debat kusir penuh emosional dan ngeyel tanpa memperhatikan tradisi ilmiah dalam berdiskusi merupakan awal perpecahan yang sebetulnya harus dihindari. Para ulama dan pemikir zaman dahulu sebetulnya sudah memberi contoh tentang perdebatan yang sehat, ilmiah, argumentatif dan berorientasi pada karya. Hal ini bisa kita lihat pada karya-karya tulis mereka yang sampai pada kita hari ini. Di antaranya adalah kitab Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid sebuah kitab fiqih yang ditulis oleh seorang filosof dan mujtahid berasal dari Spanyol yang bernama Ibnu Rushd dan di Barat dikenal dengan sebutan Averoes.
Di tengah perdebatan dalam bidang fiqih yang selama ini hanya berfokus pada produk hukum nir kajian metode dan dalīl kiranya perlu dikembangkan kajian yang berorientasi pada kajian-kajian metodologis. Hal inilah yang ditawarkan oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah. Diilhami oleh metode berpikir yang filsafati dia mampu membangkitkan semangat berpikir baru dalam bidang ilmu fiqih.
Produk-produk hukum yang ada dari berbagai madzhab dia pelajari secara tekun dan teliti, kemudian ditelusuri dalil-dalil dan metode yang mereka gunakan dalam memproduk hukum tersebut. Selanjutnya dia menetapkan konklusi hukum dari permasalahan yang ada dengan pertimbangan dalil-dalil yang lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi zamannya. Menarik, karena sebagai filosof yang terbiasa berpikir liberal ternyata dia juga menulis kitab fiqih yang nota bene berpola pikir literal.
Karya fiqih Ibnu Rushd benar-benar tidak boleh diabaikan karena nilai sudut pandang filosofisnya. Ia meninggalkan dalam karya utamanya Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid- yang sebagian besar ditulis sejak sekitar tahun 564 H/1168 M- sebuah uraian logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilāf (ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan –dalam setiap hal, setiap sudutnya –pendapat-pendapat yang diajukan oleh berbagai madzhab kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh madzhab besar.
Meskipun ikhtilāf itu lebih sering bersifat polemik, bagi ibnu Rushd ikhtilāf itu sendiri adalah suatu metode, suatu cara menyoroti prinsip-prinsip yang menimbulkan perbedaan. Dalam fiqih, pengarang tidak bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu madzhab disetujui berdasarkan penafsiran madzhab lain.
Tujuan Bidāyah adalah menunjukkan apa yang harus diperhatikan para faqīh (ahli fiqih) jika mereka tidak taklid kepada mazhab tertentu. Faqīh yang benar itu menonjol bukan karena fakta yang mereka ketahui, tetapi karena kemampuan mereka dalam menerapkan fakta itu pada setiap situasi yang nyata. Isi Bidāyah cukup memberikan kemampuan ini pada mereka.
Ibnu Rushd berpendapat bahwa hukum tidak mungkin rusak dan lemah dalam dirinya sendiri. Jika ada yang tidak konsisten, itu tentu disebabkan oleh perbedaan interpretasi terhadap sumbernya. Bidāyah adalah suatu komentar atas hukum yang dimaksudkan untuk membahas semua masalah dalam urutan dan tatanan yang ideal –yang pada kenyataannya jarang terwujud dalam teks.
Menurut Jasser Auda ada tiga corak pemikiran hukum Islam yang tersebar luas di komunitas Muslim di manapun mereka berada. Pertama, Islamic Tradisionalism, Islamic Modernism dan Islamic Post-modernism. Di dalam lingkup Islamic Tradisionalism ada empat varian, yaitu: (1) Scholastic Tradisionalism, (2) Scholastic Neo-Traditionalism, (3) Neo-Literalism dan (4) Ideology- Oriented Theories. Kajian ibnu Rushd dalam Bidāyah termasuk ke dalam varian Scholastic Neo-traditionalism karena bersifat terbuka terhadap lebih dari satu madzhab untuk dijadikan referensi terkait suatu hukum, dan tidak terbatas pada satu madzhab saja. Ada beberapa jenis sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh madzhab fiqih dalam Islam, hingga sikap terbuka pada madzhab Sunni atau Syi’ah saja.
Langkah-langkah yang bersifat metodologis yang ditawarkan oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah yang bisa kita rangkum adalah sebagai berikut:
1. Petunjuk praktis tentang landasan umum.
2. Petunjuk umum tentang wilayah yang kontroversial.
3. Pandangan masing-masing faqih yang menyebabkan perbedaan.
4. Pengujian terhadap alasan-alasan perbedaan.
5. Usulan cara-cara untuk memahami secara rasional perbedaan-perbedaan ini dan juga untuk menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu atau, paling tidak, mengklasifikasikan perbedaan-perbedaan itu agar lebih bisa diterima.
6. Pengujian terhadap kesahihan hadis.
7. Pengujian terhadap dampak teks itu (misalnya; apakah literer ataukah metaforis?) bagi setiap faqih.
8. Pengujian terhadap teks dan pemakaiannya oleh masing-masing faqih (pengertian umum atau khusus)
9. Masalah naskah dan mansukh.
10. Kekuatan relatif suatu teks (misalnya: wajib atau sunnah).
11. Pertimbangan terhadap kecenderungan intelektual (dhauq ‘aqlī)
      setiap faqih.
12. Penolakan sesekali terhadap suatu pendapat yang tidak
      bermakna.
13. Dalam  kesempatan yang langka, penegasan pendapatnya
      sendiri.
Memang, karya yang ditulis pada zaman dahulu bukan berarti selalu ketinggalan zaman. Banyak kemungkinan karya ulama yang sudah kita lupakan justru memberikan manfaat dan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada masa kini. Contohnya metode fiqh al-khtilāf yang disumbangkan Ibnu Rushd ini terasa manfaatnya jika digunakan untuk menyikapi polemik dan perselisihan-perselisihan yang terjadi pada masa sekarang. Dengan mengkaji dan membandingkan pendapat-pendapat yang diperselisihkan secara metodologis beserta relevansinya dalam hidup kekinian maka semua perdebatan yang tidak perlu dan terjebak dalam saling menyalahkan diharapkan bisa dihindari dan diselesaikan dengan baik. Wallahu a’lam.

Judul               : Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid
Penulis             : Al-Imām al-Qādī Ibnu Rushd
Penerbit           : Dār al-Fikri
Tahun              : -
Tebal               : 741 halaman (Juz I & II)
Dibeli tahun    : 1993

Tidak ada komentar: