Akhir-akhir ini banyak kita temui berbagai macam polemik dan topik perdebatan yang ada di media sosial. Tidak jarang perdebatan tersebut diiringi dengan
hujatan dan cacian. Wacana penafsiran dianggap sebagai hal yang mutlak
kebenarannya. Agamapun, sebagai obyek penafsiran, menjadi lahan yang subur bagi
konflik kepentingan yang menyulut perdebatan. Ditambah dengan kehadiran
berbagai jenis media sosial memungkinkan semua orang untuk ikut-ikutan nimbrung
tanpa memahami akar permasalahan. Mereka tidak memahami apa alasan dan bagaimana
metode berpikir yang melatarbelakangi suatu gagasan itu muncul. Tidak bisa memilah dan memilih mana yang ajaran agama, kebudayaan
dan mana yang hasil dari kemajuan peradaban.
Debat kusir penuh emosional dan ngeyel tanpa memperhatikan tradisi ilmiah dalam berdiskusi merupakan awal
perpecahan yang sebetulnya harus dihindari. Para ulama dan pemikir zaman dahulu sebetulnya
sudah memberi contoh tentang perdebatan yang
sehat,
ilmiah, argumentatif dan berorientasi pada karya. Hal ini bisa kita lihat pada karya-karya tulis mereka
yang sampai pada kita hari ini. Di antaranya adalah kitab Bidāyah
al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid sebuah kitab fiqih yang ditulis oleh
seorang filosof dan mujtahid berasal dari Spanyol yang bernama Ibnu Rushd dan
di Barat dikenal dengan sebutan Averoes.
Di tengah perdebatan dalam bidang fiqih yang selama ini
hanya berfokus pada produk hukum nir kajian metode dan dalīl kiranya
perlu dikembangkan kajian yang berorientasi pada kajian-kajian metodologis. Hal
inilah yang ditawarkan oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah. Diilhami oleh metode
berpikir yang filsafati dia mampu membangkitkan semangat berpikir baru dalam
bidang ilmu fiqih.
Produk-produk hukum yang ada dari berbagai madzhab dia
pelajari secara tekun dan teliti, kemudian ditelusuri dalil-dalil dan metode
yang mereka gunakan dalam memproduk hukum tersebut. Selanjutnya dia menetapkan
konklusi hukum dari permasalahan yang ada dengan pertimbangan dalil-dalil yang
lebih kuat dan lebih sesuai dengan kondisi zamannya. Menarik, karena sebagai filosof yang terbiasa berpikir liberal
ternyata dia
juga menulis kitab fiqih yang nota bene berpola pikir literal.
Karya fiqih Ibnu Rushd
benar-benar tidak boleh diabaikan karena nilai
sudut pandang filosofisnya. Ia
meninggalkan dalam karya utamanya Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah al-Muqtasid-
yang sebagian besar ditulis sejak sekitar tahun 564 H/1168 M- sebuah uraian
logis tentang hukum Islam yang monumental. Karya itu merupakan risalah tentang ikhtilāf
(ilmu perbandingan madzhab) yang menilai dan mempertimbangkan –dalam setiap
hal, setiap sudutnya –pendapat-pendapat yang diajukan oleh berbagai madzhab
kecil atau individu terkemuka, bukan hanya oleh madzhab besar.
Meskipun ikhtilāf itu lebih sering bersifat polemik, bagi
ibnu Rushd ikhtilāf itu sendiri adalah suatu metode, suatu cara menyoroti
prinsip-prinsip yang menimbulkan perbedaan. Dalam fiqih, pengarang tidak
bersifat memaksa. Setiap doktrin itu diberikan berdasarkan batas-batasnya
sendiri, dan bahkan mungkin terjadi satu madzhab disetujui berdasarkan penafsiran
madzhab lain.
Tujuan Bidāyah adalah menunjukkan apa yang harus
diperhatikan para faqīh (ahli fiqih) jika mereka tidak taklid kepada
mazhab tertentu. Faqīh yang benar itu menonjol bukan karena fakta yang mereka
ketahui, tetapi karena kemampuan mereka dalam menerapkan fakta itu pada setiap
situasi yang nyata. Isi Bidāyah
cukup memberikan kemampuan ini pada mereka.
Ibnu Rushd berpendapat bahwa hukum tidak mungkin rusak dan lemah dalam dirinya sendiri.
Jika ada yang tidak konsisten, itu tentu disebabkan oleh perbedaan interpretasi
terhadap sumbernya. Bidāyah adalah suatu komentar atas hukum yang dimaksudkan
untuk membahas semua masalah dalam urutan dan tatanan yang ideal –yang pada
kenyataannya jarang terwujud dalam teks.
Menurut Jasser Auda ada tiga corak pemikiran hukum Islam yang
tersebar luas di komunitas Muslim di manapun mereka berada. Pertama, Islamic
Tradisionalism, Islamic Modernism dan Islamic Post-modernism. Di dalam lingkup
Islamic Tradisionalism ada empat varian, yaitu: (1) Scholastic Tradisionalism,
(2) Scholastic Neo-Traditionalism, (3) Neo-Literalism dan (4) Ideology-
Oriented Theories. Kajian ibnu Rushd
dalam Bidāyah termasuk ke dalam varian Scholastic Neo-traditionalism karena
bersifat terbuka terhadap lebih dari satu madzhab untuk dijadikan referensi
terkait suatu hukum, dan tidak terbatas pada satu madzhab saja. Ada beberapa
jenis sikap terbuka yang diterapkan, mulai dari sikap terhadap seluruh madzhab
fiqih dalam Islam, hingga sikap terbuka pada madzhab Sunni atau Syi’ah saja.
Langkah-langkah yang bersifat metodologis yang ditawarkan
oleh Ibnu Rushd dalam kitabnya Bidāyah yang bisa kita rangkum adalah sebagai
berikut:
1. Petunjuk
praktis tentang landasan umum.
2. Petunjuk
umum tentang wilayah yang kontroversial.
3. Pandangan
masing-masing faqih yang menyebabkan perbedaan.
4. Pengujian
terhadap alasan-alasan perbedaan.
5. Usulan
cara-cara untuk memahami secara rasional perbedaan-perbedaan ini dan juga untuk
menyelaraskan perbedaan-perbedaan itu atau, paling tidak, mengklasifikasikan
perbedaan-perbedaan itu agar lebih bisa diterima.
6. Pengujian
terhadap kesahihan hadis.
7. Pengujian
terhadap dampak teks itu (misalnya; apakah literer ataukah metaforis?) bagi
setiap faqih.
8. Pengujian
terhadap teks dan pemakaiannya oleh masing-masing faqih (pengertian umum atau
khusus)
9. Masalah
naskah dan mansukh.
10. Kekuatan
relatif suatu teks (misalnya: wajib atau sunnah).
11. Pertimbangan
terhadap kecenderungan intelektual (dhauq ‘aqlī)
setiap faqih.
12. Penolakan
sesekali terhadap suatu pendapat yang tidak
bermakna.
13. Dalam kesempatan yang langka, penegasan pendapatnya
sendiri.
Memang,
karya yang ditulis pada zaman dahulu bukan berarti selalu ketinggalan zaman.
Banyak kemungkinan karya ulama yang sudah kita lupakan justru memberikan
manfaat dan solusi terhadap permasalahan yang terjadi pada masa kini. Contohnya
metode fiqh al-khtilāf yang disumbangkan Ibnu Rushd ini terasa manfaatnya
jika digunakan untuk menyikapi polemik dan perselisihan-perselisihan yang terjadi
pada masa sekarang. Dengan mengkaji dan membandingkan pendapat-pendapat yang
diperselisihkan secara metodologis beserta relevansinya dalam hidup kekinian
maka semua perdebatan yang tidak perlu dan terjebak dalam saling menyalahkan
diharapkan bisa dihindari dan diselesaikan dengan baik. Wallahu a’lam.
Judul : Bidāyah al-Mujtahid wa Nihāyah
al-Muqtasid
Penulis : Al-Imām al-Qādī Ibnu Rushd
Penerbit : Dār al-Fikri
Tahun : -
Tebal : 741 halaman (Juz I & II)
Dibeli
tahun : 1993
Tidak ada komentar:
Posting Komentar